Jakarta, 14 Oktober 2008
Lanjutan dari tulisan sebelumnya. Terinspirasi oleh novel dan film Laskar Pelangi sengaja buat tulisan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada guru-guru yang telah sangat berjasa.
Bapak Gunawan
Guru Bahasa Indonesia di SMEA Negeri 4 Pejaten
Dua tahun yang lalu saya bertemu dengan Pak Gunawan saat beliau sedang menjadi khotib shalat Jumat di Masjid kompleks. Memang sudah lama terdengar kalau beliau tidak lagi mengajar di SMEA 4. Waktu dulu mengajar status kepegawaiannya masih honorer, belum menjadi PNS seperti yang lainnya. Maklum saja karena akhirnya beliau menikah dan mempunyai tanggungan akhirnya tidak meneruskan menjadi guru. Namun kepandaiannya mengajar dialihkan menjadi seorang da’i. Sekarang selain berwirausaha, Pak Gun juga aktif di Masjid Baitul Faizin, Pemda Kabupaten Bogor.
Waktu SMEA dulu Pak Gunawan mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Menurut saya pelajaran Bahasa Indonesia justru yang paling sulit dibandingkan dengan Matematika atau Akuntansi. Mungkin karena waktu itu kami menganggap remeh pelajaran ini. Di ijasah saja saya mendapatkan nilai 9 untuk Bahasa Inggris, tapi justru pelajaran Bahasa Indonesia hanya memperoleh nilai 7. Lucu juga kalau dipikirkan, tapi memang itulah kenyataannya.
Cara mengajar Pak Gun termasuk baru bagi kami bahkan menjadi menarik. Hal tersebut karena beliau sering bercerita tentang hal-hal yang baru bagi kami. Sayangnya kami baru diajarnya pada saat kelas III jadi hanya punya waktu satu tahun. Untuk mengejar ketertinggalan kami, beliau mengadakan les tambahan. Seingat saya tanpa bayaran tambahan. Jadi dengan sukarela, beliau yang statusnya masih honorer mengajarkan kami di hari libur.
Itulah sekelumit kisah Pak Gunawan dalam mengabdi di sekolah kami. Suatu hari saat memberikan les tambahan menjelang EBTANAS, beliau mengatakan agar kami jangan minder dengan anak-anak dari SMA. Jadi dalam menghadapi ujian EBTANAS, UMPTN maupun ujian STAN kalian harus ‘pede’. Kalian juga memiliki kesempatan yang sama untuk bisa masuk universitas negeri dengan anak-anak dari SMA. Mereka bisa memperoleh nilai besar di mata pelajaran matematika, tapi kalian ambil kesempatan di mata pelajaran akuntansi. Sedangkan untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Umum kalian semua setara.
Kalimat ini terus terngiang ditelinga. Sejak saat itu saya punya strategi sendiri, ambil nilai yang besar di mata pelajaran akuntansi. Mungkin teman yang lain juga merasakan hal yang sama. Saat itu, lulusan SMEA jarang sekali bisa lulus UMPTN maupun ujian STAN. Biasanya dari SMEA di Jakarta hanya satu dua orang saja yang berhasil menembus ujian masuk universitas negeri yang paling bergengsi ini. Hasilnya, sangat luar biasa. Seangkatan saya dari SMEA 4 ada 10 orang siswa yang masuk STAN, 2 orang siswa masuk UI, dan seorang masuk IKIP melalui program PMDK. Sungguh prestasi yang membanggakan bagi sekolah kami. Siswa-siswa yang di STAN adalah saya, Andi Mulya, Mohammad Agus Maulana, Yanuar, Asih Maharsih, Sumiyati, Indri Astuti, B. Maharyani semuanya satu kelas dan Ahmad Supiyanto serta Agus Setiawan dari kelas lain. Siswa yang berhasil masuk UI, adalah Sri Windasari (Sastra UI) serta seorang dari kelas lain yang kebetulan saya lupa namanya. Sedangkan seorang siswa yang masuk IKIP jurusan akuntansi adalah teman kami, Yatini.
Kadang sebuah kalimat menjadi biasa bagi orang yang mendengarnya, tetapi bisa mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi yang lain. Semuanya harus diikuti dengan usaha keras kami belajar tentunya. Terima kasih atas motivasinya Pak Gun, semoga Allah SWT mengganjarnya dengan pahala yang berlipat ganda. Amin.
Ustadz Ali Muhammad
Guru Agama di SMEA Negeri 4 Pejaten
Ustadz Ali atau Pak Ali mengajarkan mata pelajaran Agama Islam di sekolah kami. Pak Ali adalah putra Betawi asli yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Kebetulan juga, Pak Ali adalah sahabat orang tua saya. Jadi beliau kenal baik dengan saya dan keluarga.
Kalau beliau mengajar penuh dengan cerita lucu yang mendidik. Biasanya pada saat pelajaran agama sering terdengar derai tawa siswa yang mendengar guyonannya. Sangat Betawi sekali. Cuma satu yang bikin saya jutek, yaitu pada saat membaca Al Qur’an. Bukannya nggak suka tetapi memang waktu belum bisa. Anehnya lagi, giliran membaca Al Qur’an selalu saya yang diminta untuk membacanya. Akhirnya sering panas dingin kalau giliran disuruh baca. Mungkin niat Pak Ali agar saya belajar mengaji sehingga bisa membaca Al Qur’an.
Nah, setiap pelajaran Agama Islam selalu saya meminta bantuan teman sebangku, Denny Kamal, untuk menuliskan latinnya. Jadi selamatlah, nggak malu-malu amat (soalnya ada cewek yang ditaksir satu kelas, hehehe....). Sebagai imbalannya, kalau giliran ulangan gantian Denny yang suka saya kasih contekan. Jadi cuma mengajinya saja yang nggak bisa, kalau pelajarannya sih nilainya selalu bagus.
Pernah ada kejadian lucu saat ulangan harian. Setiap ulangan harian Pak Ali selalu membacakan soalnya, jadi setiap satu soal dibaca, kami langsung menjawabnya dikertas ulangan. Jadi kalau tidak tahu jawabannya pasti kosong karena tidak bisa diulang kembali. Nah, kebetulan saya bisa menjawabnya soal-soalnya, sementara Denny ada beberapa yang terlewat. Akhirnya sesuai kesepakatan saya memberikan contekan untuknya. Ketika Denny selesai menyalin otomatis saya juga ikut melihat hasil yang dia tulis. Mungkin badan saya agak condong saat melihat contekan yang baru ditulis. Kebetulan ada beberapa orang yang juga menyontek jawaban teman sebangkunya dengan posisi yang sama. Melihat hal tersebut Pak Ali bukannya marah menegur saya atau siswa lain yang menyontek. Beliau hanya berkata dengan bahasa Betawinya yang kental dengan suara yang agak keras, “Itu ya’, ada yang doyong-doyong banget sampe mau rebah....”. Mendengar hal tersebut kontan saya tegakkan kembali posisi duduk sambil melihat ke arahnya yang senyum-senyum. Aduhh... malu sekali saya saat itu, takut juga nanti diceritakan ke tetangga di rumah. Waktu itu ingiiin sekali menjelaskan kalau saya tidak menyontek, tapi malah memberi contekan. Tapi dengan gaya senyumannya yang penuh arti terpaksa diurungkan niat tersebut. Lucunya, setelah pelajaran selesai rupanya banyak teman yang kebetulan nyontek merasa ketahuan. Jadilah saya tertawa sendiri, rupanya dengan satu kalimat bisa kena semuanya. Hehehe.... boleh juga nih akalnya Pak Ali.
Lebaran yang lalu saat bersilaturahmi di rumah kerabat, saya bertemu dengan Pak Ali, rupanya beliau sudah pensiun. Saat itu tampak seluruh rambutnya sudah memutih, tua sekali kelihatannya. Kakak saya yang kebetulan duduk disebelah pangling karena sudah lama tidak bertemu beliau (kebetulan kakak saya juga muridnya mengaji). Kakak berkomentar “Masya Allah, ini ustadz Ali. Didi kirain siapa ? habis keliahatan sudah tua sekali” katanya. Pak Ali yang mendengarnya jadi tertawa “Yah... Didi udah lupa, saya masih muda, cuma rambutnya doang yang putih”. Pak Ali tersenyum mendengar komentar kakak. Itulah Pak Ali yang selalu ceria dan senang bercanda. Karakternya tetap seperti dahulu selalu riang. Ketika silaturahmi selesai Pak Ali pamit pulang menuju motornya. Tidak berapa lama kemudian tampak Pak Ali kembali sambil kebingungan. “Kacamata saya mana ya... kacamata saya mana ya...” sambil meraba-raba saku baju dan celananya. “Ketinggalan nggak ?” katanya sambil melihat ke arah meja kami. Kami langsung sibuk ikut mencari-cari kacamatanya yang mungkin jatuh tertinggal. Setelah beberapa lama sibuk mencari-cari kacamatanya yang belum ketemu, tanpa sengaja saya melihat ternyata kacamatanya masih menempel di dahinya. Saya langsung senyum melihatnya, “Tuh di kepala Bapak apaan ?” kata saya sambil menunjuk. Setelah itu beliau meraba kepalanya “Astaghfirullah ! kok jadi pikun begini ya...”. Akhirnya kami semua tertawa melihat tingkahnya yang lucu. Ah... kasihan Pak Ali, semoga Allah SWT memberi kesehatan dan menerima seluruh amal ibadanya. Amin.