Cibinong, 06 Oktober 2008
Nama lengkapnya Ahmad Yani, anak pertama dari Mpok dan Bang Suri, pemilik kos kami. Waktu kami masuk, Yani baru saja lahir, mungkin baru beberpa minggu. Saking bangganya dengan anak laki pertamanya, yang mungkin proses pembuatannya ketika nonton film G30S, di depan kos kami ada pohon teh-tehan berwarna kuning yang dibentuk menjadi tulisan, A YANI.
Seperti orang tua pada umumnya Bang Suri juga mengharapkan anaknya akan tumbuh menjadi seorang lelaki seperti sosok Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi. Kuat, berani, tegas, dan pandai. Tapi Yani yang ini paling-paling, cengengnya luar biasa. Hampir setiap malam menangis. Kalau sudah menangis nggak ingat waktu, jam berapapun terbangun pasti menangis. Kadang-kadang kami belajar dengan iringan suara tangisannya yang tiada henti. Pagi harinya Mpok selalu minta maaf ke kami, “Maapin ya’.... semalem bocah nangis terus... lu jadi pada kagak bisa belajar dah...”. Paling kami Cuma bisa bilang “Nggak apa-apa Mpok.... namanya juga anak-anak”.
Semakin hari Yani semakin besar, badannya gendut seperti bapaknya. Rambutnya yang tipis seperti rambut jagung selalu di cukur cepak. Lucu. Pernah suatu kali Bang Suri bilang ke saya, “Mudah-mudahan anak gua pinter nggak kayak bapaknya” katanya kepada saya sambil ngobrol di teras. “Iya Bang, makanya nanti Yani di sekolahin biar pinter kayak orang-orang” saya menimpali. “Iya, Bon, bener... kali-kali aja entar dia bisa kerja. Yaa.... jadi sopir taksi lah. Nggak kayak bapaknya jadi tukang ojek” katanya pasrah. Saya mendengarnya jadi tersenyum geli, tapi juga salut akan kesederhanaan Bang Suri berfikir. Jadi sopir taksi merupakan peningkatan status yang menurutnya lebih baik daripada dirinya. Bapaknya bawa motor, nah ... anaknya kan harus lebih hebat, bawa mobil, walaupun sopir taksi.
Antiknya lagi adalah sikap Mpok yang sangat khawatir dan mudah panik. Kalau terdengar suara anaknya menangis, langsung dia teriak-teriak “Yannniii..... niiii... ngapaah... tuh bocaahhh....!!”. Lucunya karena sangat dimanja dan kelewat khawatir sama anaknya, Yani menjadi semakin cengeng. Sedikit-sedikit nangis. Kalau udah nangis, semua turun tangan, panik. Engkong, Enyak, Mpok dan Bang Suri ikut-ikutan mencoba mendiamkannya. “Betoong... betoong... cup..cup...cupp.... !” Nyak dan Engkong selalu memanggilnya dengan sebutan kesayangan ‘BETONG’. Mungkin berasal dari kata ENTONG.
Nakalnya kami (bukan saya aja nih..!), kalau lagi kesal karena berisik (atau lagi bete’ sama Nyak Babenya), pura-pura Yani kami ajak main. Biasanya main umpetan atau kejar-kejaran. Nanti pas masuk ke dalam kamar, nah... disinilah biasanya Yani, yang nggak berdosa itu, kami jitakin. Aduh kalo’ di ingat-ingat, jahat banget ya. Kadang-kadang sampai menangis, nah, kalau begini kami bilangnya paling ke jedot meja atau kursi (kebetulan Yani belum bisa ngomong). Duh... maaf ya Mpok dan Bang Suri. Kami khilaf.
Beberapa tahun yang lalu, ketika kami sudah meninggalkan kos-kosan dan sudah bekerja, saya sempat main ke sana. Kebetulan Ida, istrinya Patok, mengambil kuliah D IV. Patok memboyong keluarganya tinggal di sana. Satu rumah disewanya untuk beberapa tahun hingga istrinya lulus. Saat itu saya berdua istri menjenguk Patok. Sekalian deh mampir ke Bang Suri yang sekarang tinggal di bagian belakang rumah (dibangun lagi terpisah). Saya sempat ngobrol dengan Bang Suri dan Mpok. Saat itulah saya ditemukan dengan Yani yang sudah berusia 7 tahun. Setelah ketemu, saya langsung mengenalinya. Habis main layang-layang di lapangan rupanya. Mpok cerita kalau Yani nggak mau sekolah, karena takut sama guru, kalau melihat guru langsung menangis ketakutan, jadi setiap sekolah selalu minta ditemani oleh ibunya. Karena masih punya anak yang masih kecil, adiknya Yani, akhirnya lama-kelamaan Mpok tidak mau lagi menemani Yani. Akhirnya terpaksa Yani tidak disekolahkan. “Abis, bon, setiap ngeliat guru, Yani langsung kejer.... sampe biru, nah... gua kan jadi senewen. Emang, tuh anak cengeng yang kagak ilang-ilang” kata Mpok. “Nanti kali ya, kalo’ udah gede baru mau gua sekolahin lagih. Masak udah gede masih takut ama guru. Kalo’ nggak, nanti paling gua santrenin ajah” kata Mpok pasrah. Sementara Yani yang mendengarnya hanya cengengesan sambil mengelap ingus dengan tangannya. Srootttt........
[Mudah-mudahan ya.... semoga Yani jadi orang yang berguna bagi kedua orang tua, Amin]
No comments:
Post a Comment