Kemarin saya diprotes anak-anak gara-gara merokok. Anak saya, Radja, bilang, katanya ia nanti juga mau merokok seperti Papanya. Habis Papa ngajarin yang nggak bener sih, katanya kemudian. Kakaknya nambahin memang nih Papa merokok kan nggak baik buat kesehatan. Merokok bisa menyebabkan kanker dan sakit jantung katanya menambahkan. Dasar egois ! kata Mamanya ikut-ikutan. Jadilah saya terdakwa hari itu.
Memetik hikmah dari percakapan tersebut, tulisan ini saya buat untuk berbagi bagaimana kami dahulu dibesarkan. Dalam berkeluarga banyak nilai-nilai yang bisa saya ambil dan menjadi contoh dalam menjalani bahtera rumah tangga. Saya tidak dapat mengatakan bahwa ini adalah yang terbaik, namun sebagai penglaman pribadi nilai-nilai tersebut sangat berharga bagi saya sebagai seorang kepala keluarga. Nilai-nilai tersbut akan saya uraikan satu persatu dalam tulisan berikut ini.
Kebersamaan dan Komunikasi
Memang, sekarang berbeda sekali dengan saya waktu kecil dulu. Padahal orang tua saya, terutama Ayah, sangat dekat sekali dengan anak-anak. Tiap hari selalu ada waktu buat kami untuk mengobrol. Apa saja di bicarakan. Mulai dari cerita yang ringan, lalu berlanjut ke masalah politik, hingga masalah agama. Kami semua sekeluarga senang ngobrol.
Apalagi kalau ibu sudah ikutan bercerita, bisa-bisa kami dibuat terpaku mendengarnya. Seru sekali, padahal kadang ceritanya hanya tentang mimpinya semalam. Tetapi cara berceritanya sungguh menarik. Kalau sudah cerita kita tidak tahu apakah ceritanya hanya mimpinya atau kenyataan. Tapi yang pasti kami semua yang mendengarkan menjadi terhanyut dengan jalan ceritanya.
Sikap Keterbukaan
Protes dalam keluarga bukan barang haram. Pernah ketika kecil saya pernah protes ke Ayah karena tidak pernah mengunjungi adik-adiknya. Malahan saya bilang kalau saya juga nanti akan seperti beliau. Ayah sangat sayang dan sangat perhatian sekali kepada adik-adiknya. Jadi kalau beliau kangen selalu adik-adiknya yang disuruh datang. Makanya sifat seperti ini jadi turun ke saya. Walaupun sangat sayang kepada saudara atau teman namun saat mau berniat mengunjungi timbul rasa malas. Ini jeleknya saya. Berbeda dengan adik saya dan kakak saya yang justru sangat senang berkunjung ke sanak keluarga. Itulah, dalam satu keluarga pasti sifatnya tidak selalu sama.
Jangan Bosan Memberi Nasehat
Dulu waktu kecil saya sangat kagum dengan Ayah dan kakak. Rasa kagum karena Ayah serba tahu dan paling hebat. Sebenarnya bukan hanya saya saja yang merasakannya. Sebab saya sering menyaksikan banyak para tetangga yang suka mengobrol dengan beliau. Orangnya ramah, lucu dan suka cerita tentang kehidupan. Banyak nasehat yang keluar dari mulutnya. Sampai ketika kami sudah dewasa merasa bosan dengan nasehatnya. Kadang didengar tapi tidak ditanggapi. Walau begitu Ayah tidak bosan-bosannya menasihati.
Menjadi Teladan dan Tegas
Sekarang setelah berkeluarga kami baru merasakannya. Ternyata banyak nasehat beliau yang akhirnya kami terapkan dalam berkeluarga. Sering adiknya datang karena sedang kesulitan, beliau dengan sembunyi-sembunyi selalu memberi uang. Kadang saat adiknya sudah pergi salah satu dari kami disuruhnya menyusulnya sekedar memberinya uang. Begitulah Ayah dalam menjaga hubungan dengan ibu, prinsipnya jangan sampai ribut. Pasalnya Ayah selalu menyerahkan seluruh penghasilannya ke Ibu. Sementara untuk mengatur penghasilan yang tidak seberapa tersebut ibu harus pintar-pintar mengelolanya. Di satu sisi Ayah bertanggung jawab terhadap keluarga dan adik-adiknya di sisi lain Ibu pun bertanggung jawab memegang amanah mengatur keuangan. Luar biasa, saya waktu itu jelas belum mengerti, kenapa harus sembunyi-sembunyi. Ternyata memang dalam hubungan suami istri tidak selamanya ada kata sepakat masalah finansial. Posisi yang sangat sulit bagi seorang suami dan seorang kakak. Sekarang setelah berkeluarga saya dapat memakluminya. Namun saya selalu berusaha melibatkan istri dalam hal ini. Jadi jika ingin memberi kepada saudara justru saya serahkan kepada istri saya. Alhamdulillah, istri sangat mengerti masalah ini, walaupun tidak selamanya mulus. Itulah lika liku berkeluarga. Menjadi bijaksana.
Memuliakan Orangtua
Ayah pernah mengalami posisi sulit. Saat bertengkar dengan Ibu, masalahnya sangat rumit, karena ada nenek juga terlibat. Kami anak-anak mendapatkan pelajaran berharga di sini. Ibu, yang melihat kami sudah mulai bekerja dan memiliki penghasilan menjadi tersinggung dengan mertuanya. Semakin hari masalah tersebut menjadi makin besar. Hingga suatu ketika terucap kalimat yang bernada ancaman kepada Ayah untuk memilih ibunya atau dirinya. Hebatnya Ayah, justru beliau dengan tegas memutuskan untuk tetap memilih Ibunya. Prinsip yang harus dimiliki anak laki-laki. Kalau istilahnya, ada bekas istri tetapi tidak ada bekas anak. Sengaja Ayah bersikap demikian, katanya suatu ketika, karena anak Ayah lima orang laki-laki (kami tujuh bersaudara, dua perempuan lima laki-laki). Ayah ingin memberi contoh kepada anak-anak bagaimana seorang suami harus mengambil sikap. Ini semua bukan buat Ayah, tapi untuk Ibu kalian sendiri. Kalau Ayah salah mengambil sikap, bukan mustahil nanti anak laki-lakinya akan berbuat salah. Memilih istri kalian dan menyia-nyiakan ibu. Jadi hormati selalu ibu, surga anak-laki adalah dengan ridho ibunya. Mendengar alasannya yang demikian, Ibu akhirnya luluh. Hebat.
Jangan Takut dan Bisa Mengatasi Masalah
Ayah menjabat sebagai RT sejak tahun 1975 hingga tahun 2001. Sangat lama dan penuh dengan suka dan duka. Sejak awal niatnya menjadi RT adalah untuk mengabdi. Tidak heran sampai saat ini setelah hampir 8 tahun berhenti menjadi RT, para tetangga masih banyak yang memanggilnya Pak RT. Saya ingat bagaimana rumah kami setiap hari selalu saja ada tamu yang datang. Tidak seperti sekarang (kebetulan saya juga jadi RT), paling hanya kalau perlu membuat KTP saja warga datang ke rumah ketua RT. Waktu tahun 80-an di daerah kami masih sering terjadi perkelahian antar pemuda. Sesama warga pun seringkali timbul masalah yang akhirnya menimbulkan pertengkaran. Makanya kami sudah biasa jika tengah malam rumah kami di gedor-gedor orang yang berkelahi atau melaporkan ada masalah. Mulai pertengkaran antar pemuda, pertengkaran antar tetangga sampai masalah keributan suami istri, mereka datang ke rumah untuk diselesaikan. Pernah suatu kali tetangga saya yang ABRI ribut dengan tetangga lain warga keturunan. Si ABRI ini sangat emosional sekali sampai-sampai mengeluarkan senjata api segala. Warga tidak ada yang berani menghentikannya. Akhirnya mereka semuanya dipangil ke rumah oleh Ayah. Waktu itu sudah tengah malam, saya ingat karena takut Ayah ditembak, jadi saya tidak bisa tidur. Ikut menguping pertengkaran yang terjadi. Sangat mengerikan sekali bagi saya, karena Si ABRI dengan arogannya sampai menggebrak-gebrak meja dan mengancam siapapun. Tapi Ayah menghadapinya dengan ketenangan yang luar biasa. Tanpa perasaan takut sedikitpun. Akhirnya setelah beberapa lama masalah bisa selesai dengan baik. Semua pihak bisa berdamai kembali. Anehnya, tetangga kami yang ABRI menjadi sangat malu sekali kepada Ayah, berulang-ulang meminta maaf sambil memeluk Ayah. Nggak tahu Ayah ngomong apa, padahal menurut saya sih biasa saja. Rasa penyesalannya tersebut di tebusnya dengan mengajukan keinginannya untuk membantu segala permasalahan keamanan yang ada dilingkungan kami. Sampai saat sekarangpun tetangga tersebut sering datang ke rumah saat lebaran. Dia menganggap Ayah sebagai orang tuanya.
Akhirnya Ayah buka rahasia kepada kami. Pertama, kalau menghadapi orang marah, jangan disela pembicaraannya. Biarkan orang tersebut mengumbar semua kemarahannya. Dengarkan saja, jangan takut. Sampai suatu saat ia mereda, tenang, barulah minta ijin untuk berbicara menjelaskan. Kenapa minta ijin ? karena ada beberapa yang kadang masih tidak terima. Kalimat, “Boleh sekarang saya yang bicara ?” merupakan awal dari pembicaraan tersebut.
Kedua, menyelesaikan permasalahan orang yang bertengkar harus ingat bahwa mereka selalu merasa paling benar. Jadi, jika ada orang yang datang untuk minta diselesaikan permasalahannya, jangan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Yang dibicarakan adalah bagaimana masalahnya bisa selesai. Ketika orang bertengkar datang kepada kita, harus diingat bahwa mereka masing-masing sebenarnya ada niat untuk berdamai. Kenapa mereka tidak bisa menyelesaikannya sendiri ? karena mereka biasanya gengsi atau malu untuk mengakui kekeliruannya. Jadi arahkan pembicaraan menuju penyelesaian bukan menjustifikasi salah satu pihak.
Ketiga, orang yang bertengkar biasanya di sebabkan oleh salah paham. Oleh karena itu coba meyakinkan kedua belah pihak bahwa masalahnya adalah karena salah paham. Informasi yang tidak diterima atau di terima baru setengahnya atau salah menerjemahkan informasinya. Kalau salah menterjemahkan informasi, atau salah dalam merespon biasanya ada pihak ketiga yang terlibat. Mereka ini biasanya melebih-lebihkan sehingga jadi hasutan. Nah, kalau masalahnya karena salah paham, cobalah untuk meyakinkan keduanya bahwa maksudnya tidak seperti itu. Kalimat, “Sebenarnya, maksud bapak A tidak seperti itu“ biasanya emosi meredakan pihak lain.
Keempat, jangan mau menyelesaikan masalah atau mengatasi permasalahan ketika salah seorang atau keduanya dalam keadaan mabuk. Biasanya kalau ada yang ribut orang mabuk, pasti di suruh pulang dahulu, baru besok harinya ketika sadar datang lagi ke rumah. Kadangkala besoknya yang bertengkar tidak jadi datang ke rumah karena setelah sadar dari mabuknya menjadi malu. Kata Ayah kalau bicara sama orang mabuk sama saja bicara dengan orang gila. Tidak sadar apa yang diucapkan atau dilakukannya.
Sabar
Ayah orang yang sangat sabar, ini yang paling dirasakan oleh kami. Sebenarnya bukan hanya keluarga saja yang merasa demikian tetapi juga teman-teman serta tetangga lainnya. Seringkali Ayah dihujat diperlakukan tidak baik bahkan di fitnah. Tapi apa kata Ayah, “Biarin aja, nanti Allah akan ngebuktiin” atau “Biarin aja, orang-orang juga tahu dan menilai siapa yang salah” bahkan pernah “Sudah biarin aja, nanti Allah yang akan membalasnya”. Nah kalau yang terakhir ini biasanya untuk permasalahan yang berat. Mungkin ada perasaannya yang tersinggung sehingga terucap seperti tadi. Biasanya, kalau ada masalah seperti itu endingnya Ayah selalu menang secara psikologis. Artinya, justru mereka yang berbuat tidak baik akan mendapat tekanan dari orang-orang yang simpati dengan kesabaran Ayah. Prinsip kesabaran versi Ayah adalah, kalau kamu pernah mendengar kalimat ‘sabar itu ada batasnya’, itu salah besar. Yang benar adalah ‘Sabar itu tidak ada batasnya. Sabar ya sabar’ katanya menasihati kami. Beliau mencontohkan bagaimana kesabaran Nabi Muhammad SAW ketika mendapat tekanan saat mulai berdakwah. Juga sbar yang dicontohkan oleh Nabi Ayub A.s. ketika mendapatkan ujian yang bertubi-tubi dari Allah SWT. Subhanallah.
Demikianlah beberapa nilai yang bisa kami ambil dari kehidupan orang tua dalam berkeluarga. Sekarang mereka sudah tua. Ayah seperti anak-anak lagi, kadangkala saat kami berkunjung ada saja laporan dari Ibu. Ayah sekarang bawel, suka marah-marah, dan lain-lain. Biasanya saya hanya tertawa, dan sambil menciumi Ibu, saya bisikkan “Sabar ya Bu, dulu Ibu sangat sabar masak sekarang jadi nggak sabar sama Ayah”. Biasanya Ibu akan tersenyum mendengarnya.
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
No comments:
Post a Comment