Wednesday, October 22, 2008

Dua Sisi Cermin


Hari Minggu kemarin (30/9) salah seorang sepupu datang. Usia kami sebaya, hanya berbeda beberapa bulan. Dia sudah menikah dan memiliki seorang putra yang lucu. Karena kami seusia, sejak kecil kami sering main bersama. SD kami sekelas, SMP pun sempat satu kelas. Namun latar belakang keluarga kami berbeda. Kami yang tujuh bersaudara hidup sangat prihatin. Maklum, setelah Ayah keluar dari bekerja karena minta pensiun dini di sebuah BUMN, Ayah usaha kecil-kecilan dengan membuka usaha laundry. Namun dengan keprihatinan itulah kami bisa mandiri. Ayah dan Ibu sangat rukun hampir tidak ada keributan besar diantara keduanya. Ekonomi yang pas-pasan tidak menghalangi senda gurau dalam keluarga kami. Selalu ceria, ada saja cerita lucu dari kehidupan kami yang membuat kami tertawa.

Ayah seorang yang sangat sabar dalam mendidik anak-anaknya. Jarang sekali beliau marah dan emosi terhadap anak-anaknya. Kami berlima laki-laki, sedang kakak yang tertua serta adik bungsu kami perempuan. Sebandel apapun kami Ayah selalu memberi nasihat. Bahkan saking seringnya nasihat keluar dari beliau kadang-kadang masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tetapi karena setiap hari penuh nasihat pastilah ada pula yang nyantol.

Sementara itu, Ibu bekerja mengurus rumah tangga, walau kadang-kadang timbul marahnya, namun amarah itu bagaikan pemicu bagi kami untuk berbuat yang terbaik buat beliau. Semakin besar cinta kami terhadap Ibu. Ibu seorang yang pintar, walaupun hanya lulusan sekolah dasar beliau mampu mengurus keperluan kami mulai dari memasak, mengurusi rumah, sampai mengurus kuliah kami semuanya. Beda dengan Ayah yang orang rumahan, Ibu lebih aktif, serba tahu dan selalu mau tahu. Benar-benar Ibu yang Luar Biasa, mungkin kalau meminjam istilah luarnya Ibu itu ibarat SUPER MOM.

Ketika sakit, saya selalu ingin tidur dengan beliau. Belaian tangannya di kepala kami sangat menentramkan hati, meringankan luka dan rasa sakit. Bahkan setelah berumah tangga kadangkala ketika sakitpun saya masih mendambakan belaian beliau. Surga kami adalah ridho beliau. Sekarang ketika kami dewasa, takut sekali hati ini kalau sikap dan ucapan kami menyinggungnya. Beruntungnya kami bersaudara, kami selalu kompak setelah dewasa, setiap ada kesulitan yang menimpa saudara selalu kami tangani bersama. Alhamdulillah orang tua senang melihat kami hidup rukun.

Sementara sepupu kami sebaliknya, orang tuanya berpisah, menjadi anak broken home saat remaja. Di usia yang butuh pengawasan, nasihat dan contoh dari orang tua, mereka bersaudara hidup tercerai berai. Orang tua sibuk dengan masalahnya, sementara anak-anaknya sibuk membuat masalah.

Masa-masa labil dilewatinya dengan mencari kesenangan sendiri. Hidupnya yang dulu berkecukupan membuatnya manja. Segala sesuatu yang diinginkannya harus ada dan tersedia. Berbeda dengan saya, Ayah menyuruh kami mencuci karpet atau gordyn dahulu baru bisa dapat uang sendiri. Untuk punya mainan atau baju, kami harus bekerja lebih dahulu. Mungkin ini juga yang membedakan saya dengan sepupu saya tersebut. Kami lebih tegar, tak ada apapun yang membuat kami takut menghadapi hidup. Kami sudah biasa susah, sementara sepupu saya terbiasa hidup mudah.

Itulah takdir kami bersaudara. Sekarang datang penyesalan dalam dirinya. Awalnya mereka selalu menyalahkan orang tuanya. Namun akhirnya mereka juga sadar bahwa hidup ini penuh dengan pilihan, dan ketika harus memilih jalan mereka memilih jalan yang salah. Nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Waktu tak akan bisa diulang, sementara kehidupan terus berjalan. Itulah takdir kita.

Sebenarnya Allah SWT memberikan pilihan untuk kita. Tinggalah kita mau menuju suratan takdir yang mana. Berat memang hidup tanpa tauladan dan nasihat, tanpa kehangatan sebuah keluarga yang utuh, tanpa rasa sayang dan belaian kasih orang tua. Kejam, menurutnya hidup menjadi sangat kejam. Segalanya menjadi sulit kini, kemampuan tidak punya, modal tidak ada, bahkan keyakinan sendiri itupun sudah tak ada lagi.

Di bulan Ramadhan, hari Minggu kemarin dia menumpahkan segalanya. Ingin rasanya mengubah niat untuk menjadi lebih baik. Pemikiran seperti itu muncul tiba-tiba beberapa hari belakangan. Ketika dalam pekerjaannya mengarah kepada kesesatan. Kepada siapa ingin mengadu, orang tuanya sekarang entah dimana, sibuk dengan hidupnya yang sulit, saudaranya sama saja, bahkan tidak lebih baik darinya. Seperti dua sisi cermin yang ternyata berbeda. Demikianlah kehidupan.

Sabar bro, tidak ada kata terlambat untuk kembali.


Ya Allah, berikan petunjuk MU.

Terangkanlah jalannya, mudahkan segala urusannya.

Bimbinglah ia dan keluarganya agar dapat kembali kepada MU

Muliakanlah dirinya

Jadikanlah keluarganya sakinah.

Amin.

No comments: