Jakarta, Oktober 2009
Untuk menjadi tegar dan bermental baja memang perlu pendidikan yang lama. Hasil pendidikan mental tersebut juga harus teruji di lapangan. Jadi setelah mendapatkan teori bisa langsung dipraktekkan di lapangan.
Mendidik anak agar bermental baja dan tidak cengeng juga perlu proses pematangan di lapangan. Nah, untuk yang satu ini menjadi prioritas kami sebagai orang tua untuk mendidik anak-anak agar dapat survive dalam lingkungannya. Pendidikan mental ini diutamakan untuk anak laki-laki kami, Radja. Harapan kami adalah agar ia memiliki prinsip dalam bergaul. Tidak ikut-ikutan teman-temannya dengan alasan tidak enak dengan teman. Saya sendiri sejak kecil sudah punya prinsip ini dalam bergaul dengan lingkungan. Ketika teman-teman asyik menikmati ganja atau minuman keras, saya tetap tidak terpengaruh. Kalau tidak diterima dalam suatu lingkungan atau pergaulan biasanya saya akan membikin kelompok sendiri.
Pengakuan dalam Pergaulan
Pengalaman seperti ini saya terapkan kepada anak-anak. Misalnya, pernah suatu hari Radja asyik main sendiri di kamarnya. Padahal kami ingin agar anak-anak dapat menikmati masa kecilnya dengan bermain dengan teman-temannya. Ketika saya tanyakan kenapa dia tidak main bola dengan teman-temannya. Radja menjawab kalau dia tidak diajak ikut karena menurut teman-temannya Radja masih kecil dan belum bisa main bola. Mendengar hal tersebut saya segera memberinya nasihat. Kalau kamu mau diajak bermain bola, kamu harus jago main bola. Walaupun badannya lebih kecil dari teman-temannya, tetapi kalau jago pasti diajak. Akhirnya Radja dapat mengerti kondisi tersebut. Jadi, hampir setiap waktu senggang saya melatihnya bermain bola di halaman belakang. Mulai dari cara menendang, mengoper bola hingga membawa bola melewati lawan. Walaupun saya sendiri tidak jago bermain bola, minimal teknik dasarnya saya beritahukan kepadanya.
Beberapa minggu proses saya melatih Radja bermain bola. Hingga akhirnya dia mengerti cara bermain bola. Ketika sudah siap Radja langsung menuju lapangan. Hasilnya, hampir setiap sore Radja selalu diajak bermain bola bareng dengan teman-temannya yang lebih besar. Kami memang tidak pernah memaksa agar anak-anak kami diterima dalam pergaulan karena pengaruh orangtuanya. Biarkan anak-anak mengalami masalahnya agar mereka dapat tegar dan memiliki solusi mengatasi masalah tersebut.
Tidak Cengeng
Pernah suatu hari ketika saya memandikan Radja, saya melihat tulang kering kakinya lebam kebiruan. Saat ditanya kenapa sampai biru-biru begitu, dia tanya hanya menjawab kalau terjadi kontak fisik saat bermain bola dengan temannya. Hal pertama yang saya tanyakan adalah apakah ia menangis. Radja menjawab kalau ia tidak menangis bahkan malah tertawa-tawa dengan temannya. Bagus ! jawab saya. Kemudian baru saya periksa kondisinya apakah berbahaya atau tidak sambil menanyakan apakah di bagian tersebut masih sakit. Anak saya malah menjawab tidak apa-apa, nanti juga hilang sendiri. Bagus ! jawab saya kembali.
Kadangkala kita harus memuji anak-anak untuk menambah kepercayaan dirinya. Kami tidak pernah khawatir secara berlebihan apabila ada masalah dengan anak-anak. Biasanya kepanikan orangtua akan membuat anak menjadi cemas dan akhirnya malah membuatnya takut dan menangis.
Resistensi Terhadap Ancaman
Pernah ketika Radja dan teman-temannya pergi bermain futsal di lapangan futsal yang ada di daerah kami. Dalam perjalan pulang bermain futsal tersebut, rombongan Radja dan teman-temannya diganggu oleh orang dewasa. Kemudian Radja menyebutnya dengan istilah preman kampung. Mungkin preman kampung tersebut ingin memalaknya. Tapi Radja segera saja menggertak, "Awas kamu kalo' berani sama aku ! nanti aku bilangin sama Bapakku ! Bapakku polisi, nanti ditembak kamu !". Mendengar gertakan anak sekecil Radja akhirnya preman tersebut pergi. Setelah dirumah dan mendengar ceritanya saya jadi tertawa-tawa, bisa aja anak ini.
Ketika Radja pindah sekolah di kelas II, ada anak yang lebih besar sering meminta uang kepadanya. Namun Radja tidak pernah memberikannya dengan alasan tidak punya uang. Setiap pulang ia selalu cerita kepada mamanya mengenai hal tersebut. Awalnya kami merasa khawatir karena aksi bullying tersebut dan sekolah ini merupakan lingkungan baru buatnya. Hingga pada suatu hari ia cerita kembali, kalau ia tadi dimintain uang lagi oleh temannya. Kemudian Radja mengatakan kalau ia tidak punya uang. Nah ketika pulang sekolah, Radja membeli ikan cupang kepada seorang pedagang ikan yang biasa mangkal di depan sekolah. Ketika Radja membeli ikan tersebut temannya tadi melihatnya. terjadilah percakapan, "Ja...! katanya lu nggak punya uang. Itu kok lu beli ikan !" kata temannya marah. Dengan santai Radja menjawab, "Yee.. orang gua aja ngutang. Kalo' nggak percaya tanya aja sendiri sama abangnya". Sambil berkata begitu Radja menunjuk ke arah pedagang ikan yang tidak mengerti masalahnya. Mendengar alasan tersebut akhirnya temannya pergi. Memang ada saja akalnya Radja, masak anak kecil beli ikan ngutang ? Aneh ?. Tapi dalam kondisi tersebut saya melihat solusi cepat dari Radja dalam menghadapi masalahnya. Walaupun sedikit nggak masuk akal. Kami berdua yang mendengar ceritanya jadi tersenyum. Untunglah... ternyata Radja tidak mempan di bullying.
Berani
Berani karena benar. Merupakan kata-kata yang sering kami tanamkan kepada anak-anak. Jangan takut kalau kamu benar, hadapi saja. Dalam pergaulan anak-anak pasti sering terjadi konflik yang akhirnya menimbulkan pertengkaran. Selama pertengkaran terjadi antara anak-anak, kami selalu membiarkannya. Paling besok juga sudah baikan lagi. Jangan sekali-kali orang tua ikut campur apalagi sampai membela anaknya yang kadangkala belum tentu benar. Orang tua hanya melerai dan menasihati kedua pihak agar saling akur dan jangan berkelahi.
Walaupun usianya lebih muda dan tubuhnya lebih kecil dari teman-temannya, saya selalu memberitahukan kepada Radja, jika kamu benar dan dipukul oleh temanmu yang lebih besar, kamu harus melawannya. Jika kamu kalah berkelahi, pulang saja tapi jangan menangis. Kalau kamu sudah siap untuk berkelahi baru kamu tantang lagi. Tapi jangan pernah jahat apalagi berkelahi dengan anak perempuan, malu !. Begitulah pesan saya kepada Radja apabila ada yang jahat kepadanya.
Memang sedikit agak ngawur ngajarinya, namun saya punya alasan sendiri. Bagi saya anak laki harus berani selama ia berada dipihak yang benar. Namun harus mengukur diri, jika tidak bisa dilawan, sebaiknya hindari. Perlawanan kita terhadap dominasi seseorang dalam pergaulan biasanya akan menimbulkan rasa simpati atau respect dari orang lain. Dalam bergaul jangan menjadi pecundang, anak bawang yang suka diperintah dan jadi bulan-bulanan. Dalam pergaulan semua harus sejajar sehingga hubungan akan menjadi harmonis dan kuat.
Ajaran ini pernah dialami oleh Radja. Suatu hari ia pulang dari bermain dengan baju yang kotor dan wajah cemberut. Ketika ditanya ada apa, ia menjawab habis berkelahi dengan temannya. Ketika saya tanyakan, apakah ia yang nakal atau bukan? kemudian dia menjawabnya bukan. Kamu berani ? tanya saya lagi. Jawabnya, Berani !. Terus di lawan ?. Iya aku lawan, jawabnya. Terus ? tanya saya lagi. Aku kalah, habis badannya lebih besar, alasannya [memang anak tersebut lebih tua dan lebih besar]. Kamu nangis tidak?. Nggak, aku nggak nangis, katanya sambil tetap cemberut. Bagus ! Papa bangga sama kamu, jawab saya memujinya. Akhirnya Radja bisa tersenyum senang. Yang penting ia sudah mencoba melawannya. Kalau saja ia membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan, maka dalam pergaulan ia akan jadi bahan cemoohan dan bulan-bulanan teman-temannya. Efek dari perlawanan Radja terhadap temannya yang lebih besar bukan soal gaya-gayan, tapi membela prinsip kebenaran. Insya Allah teman-temannya akan lebih menghargai keberaniannya.
Saya jadi ingat ketika kami tinggal di Cikarang dahulu. Usia Radja waktu itu baru 3 tahun. Suatu ketika ada rumah tetangga kami yang kemalingan. Nah, ceritanya ada seorang maling yang terperangkap di dalam loteng. Semua warga berkumpul, ramai sekali waktu itu. Ada yang membawa pentungan, golok, dan senjata aneh lainnya. Saya ikut pergi untuk menonton kejadian itu. Ketika mau pergi itulah Radja memaksa mau ikut. Gayanya dan bicaranya rada aneh, "Sudah Pah, tembak aja malingnya ! Papa kan punya pistol ! " teriaknya ramai sekali dengan suasana di sana. Sementara di rumah, Sasha menangis ketakutan karena mendengar ada maling dan ramainya orang di luar sana. Akhirnya saya melarangnya untuk ikut dengan alasan, agar ia di rumah saja menjaga Mama dan Kakaknya. Setelah beberapa jam, akhirnya maling yang sedang apes tersebut tertangkap dan dibawanya ke kantor polisi. Ketika mau masuk pagar saya melihat Radja kecil sedang berdiri did epan pintu rumah kami dalam posisi siap dengan sebuah pemukul bisbol yang bahkan lebih tinggi dari tubuhnya. "Ngapain de, kamu sendirian di sini ? Bawa tongkat bisbol lagi" tanya saya. "Aku lagi jagain Mama dan Teteh !" katanya mantap. Hebat kamu de !.
Untuk menjadi tegar dan bermental baja memang perlu pendidikan yang lama. Hasil pendidikan mental tersebut juga harus teruji di lapangan. Jadi setelah mendapatkan teori bisa langsung dipraktekkan di lapangan.
Mendidik anak agar bermental baja dan tidak cengeng juga perlu proses pematangan di lapangan. Nah, untuk yang satu ini menjadi prioritas kami sebagai orang tua untuk mendidik anak-anak agar dapat survive dalam lingkungannya. Pendidikan mental ini diutamakan untuk anak laki-laki kami, Radja. Harapan kami adalah agar ia memiliki prinsip dalam bergaul. Tidak ikut-ikutan teman-temannya dengan alasan tidak enak dengan teman. Saya sendiri sejak kecil sudah punya prinsip ini dalam bergaul dengan lingkungan. Ketika teman-teman asyik menikmati ganja atau minuman keras, saya tetap tidak terpengaruh. Kalau tidak diterima dalam suatu lingkungan atau pergaulan biasanya saya akan membikin kelompok sendiri.
Pengakuan dalam Pergaulan
Pengalaman seperti ini saya terapkan kepada anak-anak. Misalnya, pernah suatu hari Radja asyik main sendiri di kamarnya. Padahal kami ingin agar anak-anak dapat menikmati masa kecilnya dengan bermain dengan teman-temannya. Ketika saya tanyakan kenapa dia tidak main bola dengan teman-temannya. Radja menjawab kalau dia tidak diajak ikut karena menurut teman-temannya Radja masih kecil dan belum bisa main bola. Mendengar hal tersebut saya segera memberinya nasihat. Kalau kamu mau diajak bermain bola, kamu harus jago main bola. Walaupun badannya lebih kecil dari teman-temannya, tetapi kalau jago pasti diajak. Akhirnya Radja dapat mengerti kondisi tersebut. Jadi, hampir setiap waktu senggang saya melatihnya bermain bola di halaman belakang. Mulai dari cara menendang, mengoper bola hingga membawa bola melewati lawan. Walaupun saya sendiri tidak jago bermain bola, minimal teknik dasarnya saya beritahukan kepadanya.
Beberapa minggu proses saya melatih Radja bermain bola. Hingga akhirnya dia mengerti cara bermain bola. Ketika sudah siap Radja langsung menuju lapangan. Hasilnya, hampir setiap sore Radja selalu diajak bermain bola bareng dengan teman-temannya yang lebih besar. Kami memang tidak pernah memaksa agar anak-anak kami diterima dalam pergaulan karena pengaruh orangtuanya. Biarkan anak-anak mengalami masalahnya agar mereka dapat tegar dan memiliki solusi mengatasi masalah tersebut.
Tidak Cengeng
Pernah suatu hari ketika saya memandikan Radja, saya melihat tulang kering kakinya lebam kebiruan. Saat ditanya kenapa sampai biru-biru begitu, dia tanya hanya menjawab kalau terjadi kontak fisik saat bermain bola dengan temannya. Hal pertama yang saya tanyakan adalah apakah ia menangis. Radja menjawab kalau ia tidak menangis bahkan malah tertawa-tawa dengan temannya. Bagus ! jawab saya. Kemudian baru saya periksa kondisinya apakah berbahaya atau tidak sambil menanyakan apakah di bagian tersebut masih sakit. Anak saya malah menjawab tidak apa-apa, nanti juga hilang sendiri. Bagus ! jawab saya kembali.
Kadangkala kita harus memuji anak-anak untuk menambah kepercayaan dirinya. Kami tidak pernah khawatir secara berlebihan apabila ada masalah dengan anak-anak. Biasanya kepanikan orangtua akan membuat anak menjadi cemas dan akhirnya malah membuatnya takut dan menangis.
Resistensi Terhadap Ancaman
Pernah ketika Radja dan teman-temannya pergi bermain futsal di lapangan futsal yang ada di daerah kami. Dalam perjalan pulang bermain futsal tersebut, rombongan Radja dan teman-temannya diganggu oleh orang dewasa. Kemudian Radja menyebutnya dengan istilah preman kampung. Mungkin preman kampung tersebut ingin memalaknya. Tapi Radja segera saja menggertak, "Awas kamu kalo' berani sama aku ! nanti aku bilangin sama Bapakku ! Bapakku polisi, nanti ditembak kamu !". Mendengar gertakan anak sekecil Radja akhirnya preman tersebut pergi. Setelah dirumah dan mendengar ceritanya saya jadi tertawa-tawa, bisa aja anak ini.
Ketika Radja pindah sekolah di kelas II, ada anak yang lebih besar sering meminta uang kepadanya. Namun Radja tidak pernah memberikannya dengan alasan tidak punya uang. Setiap pulang ia selalu cerita kepada mamanya mengenai hal tersebut. Awalnya kami merasa khawatir karena aksi bullying tersebut dan sekolah ini merupakan lingkungan baru buatnya. Hingga pada suatu hari ia cerita kembali, kalau ia tadi dimintain uang lagi oleh temannya. Kemudian Radja mengatakan kalau ia tidak punya uang. Nah ketika pulang sekolah, Radja membeli ikan cupang kepada seorang pedagang ikan yang biasa mangkal di depan sekolah. Ketika Radja membeli ikan tersebut temannya tadi melihatnya. terjadilah percakapan, "Ja...! katanya lu nggak punya uang. Itu kok lu beli ikan !" kata temannya marah. Dengan santai Radja menjawab, "Yee.. orang gua aja ngutang. Kalo' nggak percaya tanya aja sendiri sama abangnya". Sambil berkata begitu Radja menunjuk ke arah pedagang ikan yang tidak mengerti masalahnya. Mendengar alasan tersebut akhirnya temannya pergi. Memang ada saja akalnya Radja, masak anak kecil beli ikan ngutang ? Aneh ?. Tapi dalam kondisi tersebut saya melihat solusi cepat dari Radja dalam menghadapi masalahnya. Walaupun sedikit nggak masuk akal. Kami berdua yang mendengar ceritanya jadi tersenyum. Untunglah... ternyata Radja tidak mempan di bullying.
Berani
Berani karena benar. Merupakan kata-kata yang sering kami tanamkan kepada anak-anak. Jangan takut kalau kamu benar, hadapi saja. Dalam pergaulan anak-anak pasti sering terjadi konflik yang akhirnya menimbulkan pertengkaran. Selama pertengkaran terjadi antara anak-anak, kami selalu membiarkannya. Paling besok juga sudah baikan lagi. Jangan sekali-kali orang tua ikut campur apalagi sampai membela anaknya yang kadangkala belum tentu benar. Orang tua hanya melerai dan menasihati kedua pihak agar saling akur dan jangan berkelahi.
Walaupun usianya lebih muda dan tubuhnya lebih kecil dari teman-temannya, saya selalu memberitahukan kepada Radja, jika kamu benar dan dipukul oleh temanmu yang lebih besar, kamu harus melawannya. Jika kamu kalah berkelahi, pulang saja tapi jangan menangis. Kalau kamu sudah siap untuk berkelahi baru kamu tantang lagi. Tapi jangan pernah jahat apalagi berkelahi dengan anak perempuan, malu !. Begitulah pesan saya kepada Radja apabila ada yang jahat kepadanya.
Memang sedikit agak ngawur ngajarinya, namun saya punya alasan sendiri. Bagi saya anak laki harus berani selama ia berada dipihak yang benar. Namun harus mengukur diri, jika tidak bisa dilawan, sebaiknya hindari. Perlawanan kita terhadap dominasi seseorang dalam pergaulan biasanya akan menimbulkan rasa simpati atau respect dari orang lain. Dalam bergaul jangan menjadi pecundang, anak bawang yang suka diperintah dan jadi bulan-bulanan. Dalam pergaulan semua harus sejajar sehingga hubungan akan menjadi harmonis dan kuat.
Ajaran ini pernah dialami oleh Radja. Suatu hari ia pulang dari bermain dengan baju yang kotor dan wajah cemberut. Ketika ditanya ada apa, ia menjawab habis berkelahi dengan temannya. Ketika saya tanyakan, apakah ia yang nakal atau bukan? kemudian dia menjawabnya bukan. Kamu berani ? tanya saya lagi. Jawabnya, Berani !. Terus di lawan ?. Iya aku lawan, jawabnya. Terus ? tanya saya lagi. Aku kalah, habis badannya lebih besar, alasannya [memang anak tersebut lebih tua dan lebih besar]. Kamu nangis tidak?. Nggak, aku nggak nangis, katanya sambil tetap cemberut. Bagus ! Papa bangga sama kamu, jawab saya memujinya. Akhirnya Radja bisa tersenyum senang. Yang penting ia sudah mencoba melawannya. Kalau saja ia membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan, maka dalam pergaulan ia akan jadi bahan cemoohan dan bulan-bulanan teman-temannya. Efek dari perlawanan Radja terhadap temannya yang lebih besar bukan soal gaya-gayan, tapi membela prinsip kebenaran. Insya Allah teman-temannya akan lebih menghargai keberaniannya.
Saya jadi ingat ketika kami tinggal di Cikarang dahulu. Usia Radja waktu itu baru 3 tahun. Suatu ketika ada rumah tetangga kami yang kemalingan. Nah, ceritanya ada seorang maling yang terperangkap di dalam loteng. Semua warga berkumpul, ramai sekali waktu itu. Ada yang membawa pentungan, golok, dan senjata aneh lainnya. Saya ikut pergi untuk menonton kejadian itu. Ketika mau pergi itulah Radja memaksa mau ikut. Gayanya dan bicaranya rada aneh, "Sudah Pah, tembak aja malingnya ! Papa kan punya pistol ! " teriaknya ramai sekali dengan suasana di sana. Sementara di rumah, Sasha menangis ketakutan karena mendengar ada maling dan ramainya orang di luar sana. Akhirnya saya melarangnya untuk ikut dengan alasan, agar ia di rumah saja menjaga Mama dan Kakaknya. Setelah beberapa jam, akhirnya maling yang sedang apes tersebut tertangkap dan dibawanya ke kantor polisi. Ketika mau masuk pagar saya melihat Radja kecil sedang berdiri did epan pintu rumah kami dalam posisi siap dengan sebuah pemukul bisbol yang bahkan lebih tinggi dari tubuhnya. "Ngapain de, kamu sendirian di sini ? Bawa tongkat bisbol lagi" tanya saya. "Aku lagi jagain Mama dan Teteh !" katanya mantap. Hebat kamu de !.
No comments:
Post a Comment