Foto-foto Dulu !
Ketika sedang ngobrol dengan para tetangga, Pak Heri izin pulang duluan karena masuk angin (penyakit langganannya). “Ane pulang duluan nih, badan lagi nggak enak” katanya siap-siap pergi.
“Ehh, tunggu dulu pak… kan belom foto-foto !“ cegah Pak Boy.
[Cieee... emang lagi reuni !]
Karet ?
Sedang ngumpul di rumah Pak Boy, kemudian Pak Acep datang „Ada yang punya tali rafia nggak ? atau karet buat ngiket nih ?“ katanya. „Sebentar Pak, saya cari di rumah dulu“ jawab saya mencoba mencari apakah di rumah ada tali rafia atau karet. Saya kembali dengan sebuah karet gelang. „Nggak ada tali rafia, kalau karet mau nggak?“ tanya saya. „Wah, malah bagusan pake karet „ jawabnya senang. Segera saya berikan sebuah karet gelang kecil kepadanya. „Haahh... Dasaarr !!“ teriaknya sewot.
[Pak Acep mikirnya karet ban, yang cukup kuat untuk mengikat, tapi dikasih karet gelang]
Rafi dan Ori
Rafi sedang makan, sementara si Ori kucing kami terus mengganggunya. „Oriii ! sanaa... Api lagi makan nih!“ teriaknya mencoba mengusir si Ori. „Maaah... Ori nih nakal !“ teriak Rafi. Sementara si Ori terus mengganggunya dan terus mengejar-ngejarnya. „Sana pergi ! sana pergi Oriii !“ teriak Rafi kesal. „Oriii … sana pergi ! Nih api kasih uang !” teriak Rafi sambil melemparkan uang 2000 rupiah kepada si Ori.
[Hahaha… jangan segitu Fi… si Ori maunya sepuluh ribu !]
Umbul-Umbul
Setelah perayaan HUT RI, umbul-umbul harus di copot. Pak RT Zaenal memerintahkan Kiki untuk mencopot semua umbul-umbul. “Ki, tolong umbul-umbul di copotin semua. Nanti taruh di rumah Pak Haji” perintah Pak RT Zaenal. Kiki yang rajin segera mencopot semua umbul-umbul dengan bambunya. Sesuai perintah Pak RT Zaenal, umbul-umbul sekalian dengan bambunya semua di masukan ke dalam rumah saya, di ruang tamu !.
[Saya yang sedang tidur dibangunkan istri, Pah… tuh sedekah sama Kiki. Sementara terdengar suara gedubrak-gedubrak di ruang tamu kami]
Undangan Rapat
Ketika masih menjabat RT di kompleks saya mau menyebarkan undangan rapat untuk warga. Setelah selesai di print dan siap dibagikan saya minta bantuan Kiki untuk menyebarkan undangan ke seluruh warga. Beberapa jam kemudian, “Assalamu’alaikum… assalamualaikum …” terdengar suara Kiki di luar rumah teriak-teriak memberikan salam. Istriku segera keluar untuk menemuinya. “Ada apa Ki ?” tanyanya. “Ini Bu RT ada undangan !” katanya sambil menyerahkan undangan yang tadi saya buat.
[Istriku membacanya sambil komentar “Kayaknya yang tanda tangan kenal deh”… gubrakkk!]
Tata Tertib Berkunjung
Ketika asyik menikmati kopi di depan rumah sambil menikmati indahnya malam hari [sekitar pukul 22.30 WIB]. Pak Heri, tetangga depan rumah, kelihatan kaget melihat sesuatu. “Pak Haji… ! itu di rumah Pak Eko ada apa ???” katanya khawatir. Setelah saya melihatnya, rupanya ada sebuah mobil ambulan yang sedang diparkir di depan rumahnya. Nah lu ! pikiran saya nggak enak nih. Jangan-jangan ada musibah. Terlihat empat orang berpakaian unit rescue turun dari ambulan. Segera saya hampiri ingin mencari tahu dan mencoba membantu jika ada masalah. Terlihat Pak Eko sedang menyambut tamunya. Saya hampiri mereka, “Ada apaan Pak Eko ?” tanya saya khawatir. “Ah, nggak ada apa-apa “ jawabnya kalem. “Lah, ini ada mobil ambulan segala ?” tanya saya heran. “Ooh, ini teman-teman saya sedang main” katanya sambil tertawa. “Oooohhh…. Ya udah ” jawab saya sambil pergi.
Besoknya saya usulkan ke pengurus RW agar diatur tata cara berkunjung untuk tamu di perumahan kami. Minimal dilarang untuk orang yang bekerja di Dinas Pemadam Kebakaran [sopir blangwir], Dinas Kebersihan [sopir mobil tinja dan mobil pengangkut sampah], atau di Yayasan Bunga Kamboja [sopir mobill jenazah], untuk tidak menggunakan fasilitas mobil dinas dari kantornya jika mengunjungi teman atau saudaranya.
Baca Doa
Ketika rapat warga di RT kami hampir selesai, pembawa acara mempersilahkan Pak Dedi [kebetulan yang tertua diantara kami dan memakai kopiah] untuk membacakan doa.
“Acara terakhir adalah pembacaan doa yang akan di bawakan oleh Pak Dedi. Kepada Pak Dedi, waktu dan tempat kami persilahkan”
“Aduhh… kumaha ieuh… Urang teu tiasa atuh !“ Pak Dedi terlihat panik sambil buru-buruh melepaskan kopiah dan memasukannya ke kantong celananya.
„Ayo Pak ! Bapak kan yang paling tua „ kata teman-teman yang lain sambil mesem-mesem.
„Iya, katanya kan dulu pernah dinas di Departeman Agama ?“ celetuk yang lain.
Sementara Pak Dedi sudah salah tingkah, „ Aduuhh... kang… atuh saya emang pernah dinas di Depag. Cuma saya ini kan lulusan STM ...“ katanya dalam logat Tasiknya mencoba membela diri.
[Esoknya setiap ada rapat warga Pak Dedi tidak pernah memakai kopiah lagi, duduknya pun dibagian belakang]
Pemilihan RT/RW
Jika di pemerintahan banyak orang mengincar jabatan, tidak demikian untuk menjadi seorang pejabat publik dalam kasta dan urutan terendah, yaitu menjadi RT dan RW. Bukan berarti menjadi RT dan RW pekerjaan yang hina, justru sebaliknya. Menjadi RT/RW penuh pengabdian penuh dan jiwa sosial yang tinggi. Bapak saya menjadi RT dari tahun 1975 sampai tahun 2001. Bayangkan 26 tahun menjadi RT dengan segala suka dukanya.
Nah, cerita jadi RT di CGA lain lagi. Ketika saya ditunjuk oleh warga untuk menjadi RT, dengan berat hati akhirnya saya terima. Namun tidak demikian dengan istri saya. Setibanya di rumah dari acara pemilihan RT istri saya langsung protes. “Pokoknya saya nggak mau jadi Ibu RT !” katanya semangat. [Hehe…]. “Biar yang jadi Ibu RT-nya yang lain saja !” katanya kemudian. [Wah… kesempatan nih ! bisa cari lagi buat jadi Ibu RT]. Malamnya saya pun merana, karena istri saya tetap keukeuh tidak mau tidur sama RT. [Sedih banget, coba kalo jadi Presiden !]
Lain saya, lain lagi dengan Pak Boy. Ketika pemilihan untuk perwakilan calon RT/RW kemarin, beliau mendapat nominasi. Merupakan suatu kehormatan mewakili warga untuk bersaing bersama kandidat lain di ajang pemilihan RW. Namun Pak Boy malah protes dan menolaknya mentah-mentah. “Pokoknya kalau saya jadi RT/RW, saya akan pindah ke rumah saya di Kalimalang !” katanya berapi-api. Rupanya niat Pak Boy untuk menolak dicalonkan menjadi pejabat RT/RW tersebut mendapat dukungan kuat dari istri serta keluarga besarnya, marga Manurung dan marga Siregar di seluruh Jabotabek.
[Soalnya di Kalimalang Pak Boy sudah dicalonkan jadi Lurah ! Jelas aja Booo…]
Ketika mendengar namanya akan dicalonkan menjadi RT/RW oleh warga, Pak Sugeng menghampiri kami satu persatu. Maklum kami ini panitia inti pemilihan RT/RW. Pak Sugeng hingga dua kali datang ke rumah saya melobi agar jangan dicalonkan menjadi RT/RW. Kepada saya dia bercerita, “Pak, saya jangan dipilih jadi RT/RW ya, soalnya saya sedang repot. Itu rumah saya [yang sedang dalam proses renovasi] masih berantakan sekali. Kalau saya jadi RT nanti, kalau ada rapat bagaimana ?“ katanya khawatir tidak bisa menjamu warga. „Lagian Pak, saya sudah membeli rumah lagi di PTC [Pseona Telaga Cibinong]. Kalau di sini renovasi nggak beres-beres, rencananya kami sekeluarga akan tinggal di PTC” jelasnya. “Oooh…. Gitu ya Pak “
[Padahal di PTC belom ada pengurus RT/RW nya, nanti malah jadi RW di sana Pak ?]
Insinyur Liwet
Ngeliwet merupakan tradisi outdoor bapak-bapak pada malam hari di kompleks. Untuk urusan ngeliwet inilah kami menyerahkannya kepada Pak Acep yang berasal dari Garut. Asli !. Walaupun pekerjaannya berhubungan dengan konstruksi, namun untuk masalah kuliner beliau tidak kalah. Oleh karena itu beliau diberi julukan Insinyur Liwet. Menu liwetannya selalu ditunggu-tunggu. „Maknyusss !!!“ kata Pak Gunawan dan Pak Iwan yang selalu paling akhir manikmati sambal dan ikan asin. „Ajibb !!!” komentar pak Heri sambil membongkar kepala ikan mas hasil pancingan Pak Boy dan Pak Dadi. “Mantabh !!” kata Kakak Andika yang ikutan bergadang hanya untuk mendapat jatah liwetan Pak Acep. Menu terakhir yang diperkenalkan kepada kami adalah ikan mas goreng. Ikan mas hasil tangkapan Pak Boy dan Pak Dedi atau hasil sumbangan juragan Bambang [pengusaha kolam pemancingan] akan diolah dengan bumbu khusus. Kemudian digoreng sedemikian rupa sehingga siap disajikan dalam bentuk crispy. Bener-bener Ajibbb !! kata saya akhirnya, sambil menggerogoti kepala ikan sampai licin tandas.
Perda Main Gaple
Olahraga favorit teman-teman di kompleks adalah permainan gaple. Biasanya kami main RT-an. Yaitu permainan individual dengan peraturan internasional yang poin kemenangannya akan di hitung hingga menjadi tulisan R-T- [tulisannya kotak-kotak, kesannya maksa banget !]. Entah bagaimana ceritanya hingga permainan terebut hanya sampai dengan tulisan R-T- terbentuk. Mengapa tidak main ‘lurahan’ aja agar lebih lama. L-U-R-A-H-.
Sistem pertandingan yang tidak baku dan memang belum dibukukan atau dipublikasikan bahkan sepertinya belum diundangkan, membuat permasalahan sendiri dalam memperoleh kesepakatan-kesepakatan dalam aturan pertandingan ini. Misalnya boleh tidak balak kosong atau balak enam jalan duluan, Gaple ngadu kemana dan bagaimana jika kalah gaple dan seterusnya.
Kebekuan dalam membahas hal tersebut akhirnya bisa dipecahkan oleh Pak Dedi yang selalu membuat peraturan dengan caranya sendiri. Kami menyebutkannya dengan ‘Perda’ . Walaupun perda tersebut dibuat tidak adil [cenderung menguntungkan pihak legislatif] namun kami tidak bisa berbuat banyak. Peraturan setingkat perda menurut tata urutan perundang-undangan seharusnya masih harus diatur dengan surat keputusan, surat edaran, surat instruksi dan seterusnya. Jika tidak diatur dengan jelas dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan dalam masyarakat. Padahal dalam setiap perundangan apabila sudah diumumkan dalam Lembaran Negara, maka setiap warga negara dianggap tahu dan wajib mematuhinya. Nah inilah repotnya perda dalam permainan gaple kami. Tidak ada kejelasan dan tidak dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Perda yang tidak jelas ini kemudian dipaksakan sehingga menimbulkan berbagai komentar namun tidak sampai menimbulkan gejolak diantara warga CGA. Ujung-ujungnya kemampuannya yang selalu membuat perda tersebut membuat Pak Dedi sering diledek dan dicurangi oleh teman-teman. Namun semuanya dalam konteks bercanda sehingga tidak pernah ada yang marah karena kelakuannya.
Jantung di Kanan
Perumahan kami seharusnya beruntung sekali memiliki warga seperti Pak Bambang. Karena beliau ini termasuk manusia yang langka [bukan aneh loh pak...]. Keunikan ini sebabnya adalah karena beliau ini memiliki kelainan jantung unik. Kelainan jantung unik tersebut adalah dimana posisi organ jantung yang biasanya ada di rongga dada sebelah kiri, dalam kasus beliau posisi jantungnya ada di sebelah kanan. Menurut keterangan dari dokter menyebutkan bahwa kelainan ini merupakan kasus yang langka. Perbandingan penderita kelainan ini adalah 1: 10.000. Menurutnya lagi, biasanya mereka yang memiliki kelainan ini memiliki kemampuan untuk menjadi seorang atlit. Hal tersebut karena biasanya penderita akan memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat. Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Pak Bambang. Hanya sayangnya informasi seperti ini diperolehnya setelah usianya 40 tahun. Lah, dari kamaren kemana aja pak ? nggak tau punya jantung di kanan. Komentar Pak Bambang „Coba dari dulu tahunya, mungkin sekarang saya sudah menjadi pemain sepakbola terkenal“.
[Jieeee..... kalah deh Ronaldo dan Messi !]
Mangga Asem dan Mangga Manis
Kebetulan di kompleks perumahan kami banyak lahan fasum untuk taman. Nah, oleh para tetangga, fasum tersebut di tanami pohon buah. Kebetulan yang paling mudah dan paling favorit adalah pohon mangga. Jadilah di depan rumah kami berjejer lima batang pohon mangga dengan jenis yang berbeda. Nah kebetulan di depan rumahnya, Pak Bambang menanam mangga jenis gedong gincu. Mangga jenis ini terkenal dengan rasanya yang manis bagaikan gula. [bukan yang punya yang manis, tapi memang mangganya manis, pen].
Musim mangga kali ini mangga gedong gincu milik Pak Bambang sudah mulai belajar berbuah. Melihat buah mangga bergelantungan di batangnya membuat Pak Bambang sumringah. „Jadi nih, pergi haji kalo’ panen“ fikir Pak Bambang. Saya ikut-ikutan memuji pohon mangganya yang terlihat lebat. Pak Bambang semakin bangga. Ketika saya sarankan agar mangganya dibungkus biar tidak dimakan ulat atau kelelawar Pak Bambang terlihat agak malas. „Nggak ada waktunya“, kata beliau. Kemudian saya bilang lagi, „Loh, Ente nggak khawatir kalo’ mangganya rasanya jadi asem“. „Loh, kok bisa ?“ jawab Pak Bambang heran. „Ya, lihat saja sendiri pohon di sebelahnya“ kata saya sambil menunjuk cabang pohon mangga gedong gincu yang rasanya manis saling bertautan dengan mangga apel milik Pak Dadi yang rasanya asem luar biasa. „Nanti kalo mangga ente kawin sama mangga apel Pak Dadi, bisa-bisa rasanya berubah jadi asem“ kata saya memprovokasinya. „Oh iya.. ya... ?“ jawab Pak Bambang yang bingung.
[Nggak apa-apa deh Pak Bambang besanan dengan Pak Dadi, orangnya baik kok !]
to be continued
1 comment:
gue suka blog ini! You do a great job, keep it up and thank you for posting.
Post a Comment