Dalam berbagai kesempatan saya sering mendengar kalimat yang membuat hati terusik. Bahkan dalam khotbah Jumat kemarin, khatib mengucapkan kalimat tersebut. Apalgi tokoh-tokoh nasional yang sering tampil di layar televisi. Bukan saya pandai atau pun hebat, tapi rasanya kurang enak di telinga saya.
Kalimat yang di ucapkan khotib, tokoh-tokoh nasional, mahasiswa bahkan tukang ojek yang sering makan nasi uduk di depan rumah, adalah kalimat yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia sedang terpuruk, hancur, rusak, dan lain-lain istilah yang intinya menyatakan [jika saat ini seolah-olah] bangsa ini sedang berada di titik terendah dari sebuah bangsa.
Ngeri saya membayangkan jika hal yang diucapkan tadi telah terjadi pada bangsa dan negara yang saya cintai ini. Dalam gambaran saya adalah, jika kalimat itu benar, bangsa ini dipimpin oleh orang bodoh yang tidak bertuhan dan sangat lalim. Rakyat negara ini susah memperoleh kebutuhan hidupnya, tidak memiliki hak, tidak mempunyai harga diri dan penuh dengan ketakutan. Saya membayangkan tragedi Bosnia, Palestina, dan bangsa-bangsa di Afrika, dimana terjadi pembunuhan setiap hari. Saya membayangkan tidak bisa lagi orang tua membawa jalan-jalan putra-putrinya dengan aman, meskipun hanya untuk menghirup udara pagi yang segar. Saya membayangkan orang tua yang tidak mampu lagi melihat penderitaan anak-anaknya sehingga akhirnya tidak acuh lagi terhadap anaknya. Naudzubillahi minzaalik. Semoga semua itu tidak akan pernah terjadi pada bangsa dan negara ini.
Mungkin ustad dalam khotbah Jumat ingin menggambarkan keterpurukan bangsa ini dalam bidang moral dan agama. Sehingga tidak ada kata yang tepat selain kata terpuruk. Saya membayangkan maksiat merajalela sehingga orang takut memberantasnya. Sementara yang melakukannya malah merasa bangga dan senang dengan perbuatannya. Hukum agama sudah tidak didengar dan hukum dunia tidak ditakuti lagi.
Saya kok malah melihatnya berbeda dari ustadz tersebut. Bukannya sok tahu masalah agama, tapi saya malahan teringat cerita Ayah saya dulu. Ayah pernah bercerita, ketika usianya sekitar 25 tahun, waktu itu beliau sudah menikah dan baru memiliki dua orang anak [kakak saya yang pertama dan kedua]. Saat itu beliau baru bekerja di kehewanan [mungkin direktorat yang berada dibawah Departemen Pertanian]. Beliau ditempatkan di daerah Bambu Apus, nama daerah yang berada di sekitar kompleks TMII sekarang. Beliau diberi wewenang untuk mengelola beberapa hektar lahan dan seekor sapi Australia yang besar plus setiap bulannya akan dibayarkan gaji. Bukan masalah pekerjaannya yang membuatnya gundah saat itu. Masyarakat di mana beliau tinggal masih sangat tradisional. Tingkat pendidikan masih sangat rendah. Bukan hanya pendidikan umum tapi yang lebih parah adalah pendidikan agama. Banyak masyarakat yang masih menjalankan ritual sesat. Kemaksiatan merajalela di segala aspek kehidupan. Orang berjudi, main perempuan, mabuk-mabukan hampir menjadi kebiasaan masyarakat setempat. Jika ada warga yang meninggal, anggota keluarga yang ditinggalkan bukannya mengadakan pengajian atau membaca doa, tetapi malah mengadakan pesta di kuburan. Orang ramai berdatangan bukan untuk mendoakan jenazah, tetapi malah minum-minuman, berjudi dan berzinah. Praktek perdukunan sangat marak. Santet dan pelet sudah biasa bagi masyarakat. Hingga timbul kesadarannya untuk merubah itu semua. Sendirian ia merangkul para pemuda untuk diajarkannya mengaji. Awalnya banyak yang menentang dan tidak suka dengan niat baik Ayah. Setelah melakukan pendekatan dengan kepala desa dan aparat sedikit demi sedikit akhirnya beliau mendapat kepercayaan dari masyarakat. Kesulitan hidup tidak beliau rasakan karena usaha kebaikannya membuat masyarakat sekitar malah membantu kehidupannya. Murid-murid pengajiannya, tanpa diminta sering membawakannya beras dan sayur-mayur jika datang musim panen. Alhamdulillah usahanya ini membawa perubahan yang baik untuk masyarakat sekitar.
Saya sangat bersyukur hidup saat ini. Sudah banyak anak-anak bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan dengan murah. Pendidikan agama marak di setiap pelosok kampung. Ustadz dan da’i bebas berdakwah dimana saja, bahkan ada yang hidup mewah dengan berdakwah. Masjid-masjid setiap saat mengumandangkan pengajian lewat pengeras suaranya. Orang takut mabuk-mabukan dan berjudi dipinggir jalan karena setiap saat polisi datang merazia dan menahan mereka. Perdukunan, walaupun akhirnya di kemas dengan berbagai macam cara, masih membuat malu orang yang mendatanginya. Kalaupun ada orang yang berbuat maksiat justru mereka yang takut dengan masyarakat banyak. Organisasi seperti FPI, betapapun kontroversial tindakannya, masih dalam koridor memberantas kemaksiatan. Presiden, para menteri, tokoh nasional, apapun motif atau latar belakang tindakannya, mau menampilkan wajah keislaman atau keagamaannya. Saya selalu berprasangka baik untuk mereka semua. Saya membaca, dalam buku biografinya, Presiden SBY setiap hari dalam melangkah selalu dalam ridho ibunya yang berpuasa sunah setiap hari untuk melindungi setiap langkah anaknya yang menjadi presiden agar selamat. Bukankah ridho orang tua adalah ridhonya Allah SWT. Inilah yang membedakan dahulu dengan sekarang.
Para tokoh politik mondar mandir berteriak mengecam dan menghujat pemerintahan yang berkuasa. Jangan terpancing oleh tingkah laku mereka. Itulah hebatnya seorang politikus, mereka tahu kapan harus menjadi musang dan kapan harus menjadi ayam. Semua ada motif politiknya, semua ada niat tersembunyi. Jika niatnya kesampaian maka berhentilah ia menghujat. Kenapa sekarang benyak yang seperti itu. Politisi sibuk menjatuhkan lawan politiknya. Beteriak kesana-kemari mencari kesalahan lawan. Kenapa sekarang ada dahulu tidak ada ? Padahal orangnya masih sama dan bahkan dahulu pernah jaya. Kenapa ? Karena sekarang kita lebih bebas dan merdeka untuk mengeluarkan pendapat. Dahulu ? Bisa masuk Cipinang mereka semua kena pasal UU Subversif dengan alasan klise merongrong dan mebahayakan pemerintahan yang sah. Kenapa sekarang mereka berani dahulu tidak berani ? Itulah bedanya dahulu dan sekarang.
Demonstrasi marak dimana-mana menampilkan pergerakan kaum muda yang dimotori mahasiswa. Tahukan anda bahwa ada seorang teman saya yang dahulu sempat masuk daftar untuk dilenyapkan karena perjuangannya menentang pemerintahan ORBA, sekarang kecewa berat dengan teman seperjuangannya yang asyik duduk di lembaga legislatif.
INDONESIA TIDAK SEDANG TERPURUK TEMAN !!! Negara ini sedang berproses. Proses yang kita yakini akan menuju kebaikan dan kesempurnaan. Jangan pesimis, jangan menghujat, jangan memfitnah ! Bantulah pemerintah dengan jalan yang benar dan elegan. Miliki harga diri !
Saya salut dengan Prabowo yang datang dengan gagah memberikan ucapan selamat kepada SBY sebagai saingannya, walapun dia gagal dan kalah dalam pemilu. Saya tidak membela SBY dan saya tidak menyanjung Prabowo. Saya salut dan bangga memiliki pemimpin yang satria dan cerdas ! Oposan bukan berarti menjegal langkah lawan dan menghujatnya habis-habisan, Oposan harusnya mengkritik dan mengkoreksi kesalahan. Jadilah pemimpin yang cerdas, elegan dan betanggung jawab. Jadilah masyarakat yang cerdas dan pandai melihat keadaan. Jangan ikut-ikutan. Jangat buta, jangan taklid. Nanti salah-salah bisa menjadi musyrik.
Jangan sekali lagi berkata negara ini sedang terpuruk ! Negara ini hanya sedang berproses menuju kebaikan. Negara ini akan menjadi lebih baik setiap lima tahun, setiap tahun, setiap bulan dan setiap hari. Mau tau syaratnya jadilah orang yang cerdas, jangan taklid atau ikut-ikutan yang nggak jelas, dan selalu menjaga etika. Pilihlah pemimpin yang beriman, amanah, jujur dan santun.
Majulah Indoneisa !
Semoga manfaat ....
Cibinong, 04 Januari 2010
No comments:
Post a Comment