Showing posts with label Jonggol. Show all posts
Showing posts with label Jonggol. Show all posts

Sunday, November 1, 2009

Thukul

Yang satu ini bukannya Thukul Arwana atau Reynaldi yang di acara talkshow Bukan Empat Mata. Bukan juga Wiji Thukul yang seniman. Thukul yang ini adalah seorang petani yang tinggalnya di gunung. Jauh dari hiruk pikuk dunia selebritis dan gemerlapnya Jakarta. Hanya seorang petani.

Entah bagaimana ceritanya dipanggil Thukul kita semua juga tidak tahu. Nama sebenarnya sangat bagus, Khoiri. Khoir dalam bahasa Arab artinya baik. Mudah-mudahan seperti harapan kedua orangtuanya, selalu berbuat baik.

Masa kecilnya dilaluinya di sebuah desa di Jawa Tengah. Walaupun namanya berarti baik ternyata Thukul alias Khoiri pernah menjadi momok bagi anak-anak di desanya karena kenakalannya. Nakalnya memang hanya sebatas nakalnya anak desa yang sering berkelahi. Namun kenakalannya disebabkan karena hidupnya yang pas-pasan. Menurutnya, hanya untuk dapat jajan. Tetapi itupun tidak dengan mencuri. Biasanya ia meminta uang dari teman-temannya yang berlebihan uang jajan. Jika tidak diberi maka akan terjadi perkelahian.
Kenakalannya inipun hanya terjadi di luar rumahnya. Jika berada di rumah, Thukul adalah anak yang patuh dan rajin membantu kedua orangtuanya. Setiap hari selalu membantu kedua orangtuanya bertani. Bapaknya adalah seorang petani yang bekerja keras demi keluarganya. Temperamen bapaknya yang keras membuatnya menjadi orang yang tangguh dalam bekerja. Hingga pada suatu hari kenakalan Thukul di luar terdengar ke telinga bapaknya. Akibatnya dalam usia yang masih muda Thukul diusir oleh Bapaknya. Sementara ibunya tidak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya Thukul remaja pergi meninggalkan keluarganya.

Pengembaraan Thukul meninggalkan keluarganya ketika usianya masih 12 tahun. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya ia bekerja menjadi buruh di sebuah pabrik kerupuk di kotanya. Awalnya hanya membantu pekerjaan ringan. Setelah beberapa bulan bekerja akhirnya ia mulai ditugaskan menggoreng kerupuk. Pekerjaan yang berat dan penuh resiko untuk anak seusianya. Namun baginya tidak ada pilihan lain demi sesuap nasi. Tanpa terasa sudah dua tahun Thukul pergi meninggalkan keluarganya. Kepergiannya menjalani hidup menjadi buruh pabrik kerupuk tanpa sepengetahuan keluarganya. Kakak-kakaknya sudah menikah dan tinggal di Jakarta. Ketika mereka pulang kampung dan tidak mendapatkan adiknya mereka sibuk mencari keberadaanya. Sementara Bapaknya tetap keras pada pendiriannya.

Akhir petualangan Thukul muda berakhir dengan pertemuan tidak sengaja dengan salah seorang tetangga kampungnya. Informasi keberadaan Thukul akhirnya diketahui pihak keluarga. Atas permintaan ibunda tercinta akhirnya Thukul luluh dan mau kembali pulang.

Kepulangan Thukul ke rumah tidak bertahan lama. Mungkin karena sudah terbiasa mandiri akhirnya Thukul kembali pergi meninggalkan rumah. Bedanya kali ini kepergiannya atas izin kedua orangtua. Ia pergi bersama kakaknya bertransmigrasi ke Sumatra. Sebagai seorang transmigran mereka mendapatkan rumah dan lahan untuk dikelola. Kehidupan sebagai transmigran menurutnya sangat menyedihkan. Apalagi untuk pemula seperti ia dan kakaknya. Pekerjaan awalnya adalah membuka lahan seluas 3 hektar miliknya. Komoditas yang ditanampun sudah ditentukan yaitu kelapa sawit. Untuk dapat menikmati hasil panennya mereka harus menunggu selama kurang lebih lima tahun. Sementara untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka harus berkebun sayuran. Kebutuhan hidup hanya pas untuk makan saja. Selebihnya mereka harus berusaha keluar masuk hutan untuk mencari sesuatu yang dapat dijualnya. Mencari rotan dan mencari pohon sagu salah satunya. Jika sudah mencari rotan mereka harus pergi ke dalam hutan selama sebulan. Selama mencari rotan keluar masuk hutan mereka hanya berbekal garam dan sekarung beras. Untuk lauknya mereka mengandalkannya dengan cara berburu binatang hutan. Menjerat binatang seperti kelinci dan burung adalah cara yang paling mudah. Bahkan mereka pernah beruntung menemukan kijang sisa buruan harimau. Untungnya masih segar dan layak dimakan. Banyak pengalaman menarik yang dijumpainya selama pergi ke hutan mencari rotan. Bertemu harimau sumatra, dikejar beruang, atau dikeroyok sekawanan beruk. Untungnya selama ini mereka selamat dan tak pernah terluka. Karena menurut cerita penduduk setempat, serangan harimau gajah beruang bahkan lebah hutan bisa sangat membahayakan.

Kehidupan yang keras di hutan membuatnya tegar. Kegiatannya bertani membuat pengetahuannya bertambah. Menanam kelapa sawit, kopi, dan sayur-sayuran pernah dijalaninya. Cara menjerat rusa, babi hutan, burung juga pernah dilakukannya. Cara menghadapi serangan beruk, beruang, dan hewan buas ia tahu. Benar-benar menarik jika dia bercerita pengalamanny selama menjadi transmigran.

Karena suatu hal Thukul kembali ke Jawa. Atas ajakan saudaranya akhirnya ia bisa masuk bekerja di kantor. Pekerjaanya adalah menjadi cleaning service merangkap office boy. Sebagai karyawan kantoran di Jakarta sempat membuatnya nyaman. Uang mudah diperolehnya tanpa resiko diterkam harimau.

Namun rasa nyaman dengan penghasilan yang lumayan tidak membuatnya betah. Mungkin karena biaya hidup yang tinggi dan lika-liku kehidupan Jakarta yang keras membuatnya berubah fikiran. Ternyata hutan Sumatra masih lebih menarik daripada belantara Jakarta.

Ketika kami menawarinya untuk mengelola lahan milik bersama serta merta dia langsung menyanggupinya. Padahal penghasilannya jauh lebih rendah. Di lokasi lahan kami juga masih sepi. Tetangga terdekatnya berjarak 3 km. Rumahnya pun hanya dari kayu dan bambu tanpa listrik. Namun jiwa petualangan dan jiwa petani yang bebas membuatnya menerima tawaran kami. Akhirnya jadilah Thukul sekarang tinggal bersama keluarganya di atas sebuah di Jonggol.

Kemarin dia berkunjung ke kantor karena suatu urusan. Badannya hitam legam terbakar matahari. Lebih sehat dari kami semuanya. Tampak sangat menikmati perannya kembali menjadi petani. Sederhana namun memiliki kebebasan.

Sunday, May 10, 2009

Pindahan Tukul ke Jonggol

Jonggol, Sabtu 09 Mei 2009

Hari pindahan Tukul ke puncak bukit di Jonggol. Walaupun agak molor waktunya (kami janjinya pindahan bulan April kemarin) namun akhirnya jadi juga Tukul dan keluarga boyongan ke Jonggol.
Saya, Radja dan Heriman ikut mengantar proses pindahan. Kami berangkat dari Mc Donald Cibubur pukul 8.30 WIB. Perjalanan dari Cibubur ke lokasi terhitung lancar tanpa hambatan. Tiba di lokasi (dibawah, tempat biasa parkir) sekitar pukul 10.15 WIB. Setelah berhenti sebentar, kami menanyakan apakah truk yang membawa barang pindahan bisa naik ke lokasi Nyalindung. Warga yang kami tanyakan menyarankan agar berangkatnya ditunda sekitar jam 2 siang saja mengingat semalam hujan sehingga jalan masih becek dan licin. Wah, untuk menunggu hingga jam 2 siang lumayan lama juga nih. Kemudian datang Opal dan Pak Ade, setelah mempertimbangkan kondisi jalan akhirnya diputuskan untuk berangkat saat itu juga.
Jarak yang kami tempuh ke lokasi sebenarnya terhitung dekat, hanya 4 km. Namun kondisi jalan yang rusak, licin dan menanjak membuat perjuangan ke lokasi menjadi sangat berat.
Benar saja, baru sekitar 100 m perjalanan, mobil truk sudah tertahan di tanjakan licin. Mobil tidak bisa naik karena selip ban. Atas saran Pak Sulaeman (Babinsa Ds Pabuaran), akhirnya kami menarik truk tersebut dengan tambang. Setelah ditarik tidak berhasil juga karena tanahnya sangat licin, akhirnya sepanjang jalur ban ditaburi sekam agar ban dapat menapak lebih kuat di tanah. Bayangkan, Saya, Tukul, Heriman dan Pak Ardi (yang akhirnya saya tahu kalau usianya sudah 84 tahun !) menarik truk yang penuh barang. Kayak Debus !!!
Beberapa kali truk mengalami slip ban di jalan yang licin dan curam, beberapa kali pula kami mencoba kedigdayaan menarik truk tersebut.
Ujian bukan hanya itu saja, naik di belakang truk di jalan yang berbatu dan menanjak sangat sengsara. Badan sakit-sakit semua terbentur pinggir bak truk. Radja yang tadinya duduk di depan akhirnya ikut pindah ke belakang, karena takut melihat jalan. Wajahnya terlihat pucat takut truknya terbalik. Jangankan Radja, saya saja deg-degan juga, takut truknya terbalik katika melewati tebing. Tapi, saya sengaja tertawa senang agar Radja tidak panik. Padahal badan udah hancur-hancuran.
Akhirnya supir truknya menyerah juga ketika perjalanan sudah mendekati rumah Tukul. Di tanjakan depan lokasi lahan Bagus, truk tersebut slip kembali. Radja sudah 'bete' akhirnya saya suruh untuk jalan sendiri. Saya dan Heriman yang sudah nggak kuat akhirnya ikut jalan sama Radja ke lokasi rumahnya Tukul. Lumayan lah, setengah kilo lagi. Daripada naik truk terguncang-guncang. Barang-barang tukul akhirnya diturunkan di tempat itu. Untunglah akhirnya bantuan datang. Pak Adiman dan dua orang adiknya yang jalan kaki dari bawah ikut membantu mengangkut barang-barang. Orang kampung juga bolak-balik membantu mengangkut barang.
Rumah Tukul terlihat sudah cukup rapih, tinggal membenahi sedikit kamar mandinya. Airnya mengalir lewat selang yang diambil langsung dari sumber mata air. Radja sudah mulai mengeksplorasi wilayahnya, mencari mengumpulkan batu-batu buat main, keluar masuk semak sambil mengayun-ayunkan tongkat kayu yang ditemuinya. Apalagi Tukul bawa beberapa ekor Ayam, sepasang Entok dan seekor monyet yang diberi nama 'Omen'. Tambah betah saja dia di sana. Wah, asyik nih Pah, kayak si Bolang katanya.

(Bersambung)

Sunday, March 15, 2009

Rumah di Jonggol

Jonggol, 14 Maret 2009

Sabtu ini Alhamdulillah perjalanan aman. Hujan tidak turun sehingga jalan bisa dilalui dengan mudah. Rencana untuk melihat proyek pembangunan rumah berjalan lancar. Walaupun rumah belum 100% selesai, namun dari penglihatan saya sudah ada perkembangan. Tinggal membuat dapur dan bagian depan. Sementara pemasangan bilik belum bisa dilakukan karena bilik yang dijual di pasar lebarnya kurang untuk menutupi dinding. Kang Jejen berinisiatif untuk memesan bilik yang memiliki lebar sesuai dengan lebar bangunan. Uang pembangunannya baru dibayar 80%, nanti kekurangnnya akan di berikan setelah rumah selesai.

Sementara proses penanaman pohon sengon juga sudah berjalan dengan lancar. Sudah hampir 9 500 batang pohon ditanami. Sekarang pengerjaannya sudah mencapai lahan milik Doni dan Sigit. Rencananya akan diteruskan ke lahan milik Agus dan Lisa. Untuk lahan milik Bapak Tarmizi, Mas Zuli dan Jupri belum dapat ditanami karena sedang digunakan untuk sawah huma milik penduduk. Pantauan saya di lapangan, sawah tersebut sudah mengeluarkan bulir-bulir padi. Perintah Pak Haji, begitu sawah selesai dipanen agar segera dibersihkan untuk ditanami pohon sengon.

Bagi rekan-rekan yang ingin mengurus sertifikat tanah tersebut dapat berkonsultasi langsung dengan Pak Haji Acep. Dari pembicaraan kemarin, status tanah milik kita sebagian adalah obyek sertifikat dan sebagian lagi adalah obyek kehutanan yang dapat disertifikasi. Prosesnya adalah dengan membuat surat keterangan lurah bahwa tanah tersebut merupakan milik masyarakat yang sudah dikelola puluhan tahun. Surat keterangan dari lurah tersebut dapat dijadikan dasar untuk meng-konversi status tanah. Biaya yang ditawarkan untuk membuat sertifikat adalah sebesar Rp. 2.000 per m2. Biaya tersebut diminta oleh Pejabat kehutanan yang bersedia mengurusnya. Dari jumlah tersebut Pak Haji belum menawarnya sehingga kemungkinan harga per meternya bisa lebih kecil.

Sementara proses pemindahan Thukul ke lokasi akan dilaksanakan setelah rumah selesai. Artinya sudah layak untuk dihuni. Untuk keamanan ada rencana mempekerjakan penduduk setempat yang di gaji setiap bulannya. Tugas keamanan selain untuk menjaga status tanah dari penyerobotan juga sebagai penjaga tanaman sengon agar tidak dicuri. Disamping itu keamanan akan menjadi penghubung antara kita dengan penduduk setempat. Biaya gaji kemanan sebaiknya diadakan rapat antara teman-teman semua.

Demikian informasi kunjungan ke Jonggol pada hari Sabtu tanggal 14 Maret 2009.

Foto pembangunan rumah




Foto Sumber Mata Air



Foto Lahan yang ditanami sengon



Foto jalan ke lahan


Foto Saung Penjaga






Sunday, March 1, 2009

PEMBANGUNAN RUMAH DI JONGGOL






Sukamakmur, Minggu tanggal 01 Maret 2009,

Bersama rombongan, Andi Setyono beserta keluarganya, Mas Syahrul dan Mas Adiman, Kang Heri dan Heriman, dan Saya, mengunjungi kembali lokasi tanah yang akan dijual.
Kebetulan proyek pembangunan rumah untuk Thukul sedang berjalan. Awalnya saya perkirakan rumah tersebut sudah berdiri tegak. Ternyata ketika naik ke puncak masih bediri tenda biru. Belum apa-apa.

Tapi progres penanaman pohon sengon sangat pesat. Sudah hampir 3 hektar lahan di tanami. Bibit yang sudah ada di lokasi dan yang telah ditanam (berdasarkan informasi dari Pak Haji) sudah mencapai 9500 pohon.

Ketika tiba di lokasi tampai para pekerja yangs edang menanam pohon sengon di lokasi tanah milik Heriman dan Andy. Sementara di lokasi tersebut juga sedang dibuatkan saung untuk penjaga.

Wah, seneng juga melihat lahan sudah ditanami. Mudah-mudahan bayarnya juga lancar seperti penanamannya. Rencana kami, semua lahan yang luasnya 10 hektar akan ditanami pohon sengon. Memang akhir-akhir ini bisnis sengon sangat menjanjikan. Bayangkan, hanya dengan modal Rp. 30 juta per hektar akan menghasilkan 4000 batang sengon dalam jangka waktu 5 tahun yang nilai jualnya seharga Rp. 500.000 per pohon. Gila ...!!! hampir 2 Milyar !!!.

Itu kalau kita berhitung secara optimis. Tapi dari 4000 pohon, misalnya hanya jadi 1000 pohon yang bagus itu saja sudah dapat menghasilkan Rp. 500 juta.

Mudah-mudahan rencana kami berhasil. Insya Allah.

POHON SENGON YANG SEDANG DITANAM



LAHANNYA HERIMAN



BONUS SAUNG DARI PAK HAJI ACEP



ANGGOTA TIM YANG BERKUNJUNG

Adiman dan Syahrul



Saya, Bpknya Andy,Syahrul,Heriman,H. Acep, Tukang dan Mang Ade (Preman Ci Orai)



Andy, Adiman (dibelakang),Bpnya Andy,Syahrul,Heriman, H. Acep, Heri,Kang Ade,Pekerja


PROYEK PEMBANGUNAN RUMAH UNTUK THUKUL



HELIPAD DI DEPAN RUMAH PAK ADIM