Pejaten, 07 Februari 2010
01.09 WIB
Malam hari menjelang tertidur di rumah orangtua di bilangan Pejaten, Pasarminggu. Suasana masa kecil kembali hadir di sini. Suasana tentram menjelang tidur, sambil mendengar Ayah bermain gitar atau biolanya, atau mendengarkan alunan suara Ayah yang sedang mengaji di malam hari. Kami berserakan tertidur di rumah sederhana yang sudah tak mampu lagi menampung kehadiran anak-anak dan cucu-cucunya. Rumah yang merekam seluruh kenangan masa kecil. Rumah yang menyaksikan kenakalan saya ketika bermain burung merpati atau bermain layang-layang di atas atap rumah siang hari. Terbayang sosok mengerikan Enyak, nenek kami, berteriak-teriak ngomel dari bawah sambil mengacung-acungkan entah itu sapu atau bambu. Beliau memaksa saya turun dari atas atap rumah karena takut saya jatuh atau genteng rumahnya pecah terinjak-injak. Kesalnya luar biasa kalau melihat beliau marah-marah dan melarang saya naik di atap rumahnya. Saya bukannya takut malah kadang sengaja meledeknya.
Rumah ini saya kenal sekali detailnya. Hampir setiap sudut dan pojok rumah merupakan arena bermain. Celah sempit ukuran 40 cm yang gelap dan pengap antara rumah kami dan rumah tetangga adalah daerah yang menjadi wilayah pribadi saya. Orang dewasa tidak muat masuk ke dalam sana. Di tempat gelap tersebut saya gunakan untuk menyimpang ikan-ikan cupang peliharaan. Ikan cupang yang akan diadu akan lebih galak jika disimpan dalam tempat yang gelap, begitu menurut pendapat anak-anak seusia pada waktu itu. Itulah sebagian kenangan masa kecil di rumah ini.
Malam ini seperti yang lalu pula Ayah masih tidak bosan-bosannya menasihati kami. Malam ini seputar sholat, beliau ingin saya mengajak anak-anak untuk shalat Subuh di masjid. Setiap Sabtu atau Minggu ketika saya libur beliau menyuruh saya untuk sama-sama Sholat berjamaah di Masjid atau musholah. Masih seperti dulu…..
01.09 WIB
Malam hari menjelang tertidur di rumah orangtua di bilangan Pejaten, Pasarminggu. Suasana masa kecil kembali hadir di sini. Suasana tentram menjelang tidur, sambil mendengar Ayah bermain gitar atau biolanya, atau mendengarkan alunan suara Ayah yang sedang mengaji di malam hari. Kami berserakan tertidur di rumah sederhana yang sudah tak mampu lagi menampung kehadiran anak-anak dan cucu-cucunya. Rumah yang merekam seluruh kenangan masa kecil. Rumah yang menyaksikan kenakalan saya ketika bermain burung merpati atau bermain layang-layang di atas atap rumah siang hari. Terbayang sosok mengerikan Enyak, nenek kami, berteriak-teriak ngomel dari bawah sambil mengacung-acungkan entah itu sapu atau bambu. Beliau memaksa saya turun dari atas atap rumah karena takut saya jatuh atau genteng rumahnya pecah terinjak-injak. Kesalnya luar biasa kalau melihat beliau marah-marah dan melarang saya naik di atap rumahnya. Saya bukannya takut malah kadang sengaja meledeknya.
Rumah ini saya kenal sekali detailnya. Hampir setiap sudut dan pojok rumah merupakan arena bermain. Celah sempit ukuran 40 cm yang gelap dan pengap antara rumah kami dan rumah tetangga adalah daerah yang menjadi wilayah pribadi saya. Orang dewasa tidak muat masuk ke dalam sana. Di tempat gelap tersebut saya gunakan untuk menyimpang ikan-ikan cupang peliharaan. Ikan cupang yang akan diadu akan lebih galak jika disimpan dalam tempat yang gelap, begitu menurut pendapat anak-anak seusia pada waktu itu. Itulah sebagian kenangan masa kecil di rumah ini.
Malam ini seperti yang lalu pula Ayah masih tidak bosan-bosannya menasihati kami. Malam ini seputar sholat, beliau ingin saya mengajak anak-anak untuk shalat Subuh di masjid. Setiap Sabtu atau Minggu ketika saya libur beliau menyuruh saya untuk sama-sama Sholat berjamaah di Masjid atau musholah. Masih seperti dulu…..
No comments:
Post a Comment