Hari ini ada perbedaan di wajah teman sekamarku ini. Krisna namanya, dia sama seperti saya, seorang pegawai yang sedang bertugas di daerah. Usianyapun hanya berbeda dua tahun lebih muda. Sudah lima tahun kami ditempatkan di daerah ini dan belum ada kepastian kapan akan kembali ke Jakarta. Kami berdua mengontrak rumah yang lumayan asri yang berada di pinggiran kota Manado.
Hari ini Krisna berbeda dari biasanya. Entah kenapa sejak pulang kerja tadi sore wajahnya sedikit murung. Sepertinya ada masalah yang menimpanya.
”Ada apa sih bro? Tampangmu kok kusut begitu” tanyaku.
”Iya nih, aku ada sebuah kenangan yang akhir-akhir ini sangat mengganggku”, jawabnya santai sambil mengeluarkan sebungkus rokok. Kenangan? Ah, teman ini rupanya sulit melupakan masa lalunya pikir saya.
”Memang kenangan tentang apa sih?” tanyaku menyelidik. Waktu itu kami sedang duduk berdua dalam kamar kontrakan sambil menikmati rokok dan secangkir kopi.
”Seseorang...”, jawabnya pelan seperti tak ingin saya tahu.
”Siapa? Sahabatmu? Atau jangan-jangan mantan kamu?” kejar saya menebak isi kepalanya. Dia senyum sebentar ke arah saya.
”Pokoknya spesial buatku”, sambil memalingkan wjahnya seperti malu kalau aku tahu. ”Kenapa sih nggak bisa dilupakan saja”, tanyaku.
”Nggak bisa, soalnya sangat berkesan sekali”, katanya sambil menghisap rokoknya menerawang.
”Yah, kamu tuh nggak bakalan balik lagi mengulang memori yang sudah lalu. Sudahlah, lupakan saja”, saya mengulangi.
”Sulit, sulit sekali melupakannya”, jawabnya tetap keukeuh sambil mengangkat cangkir kopi dan mulai menyeruput pelan.
”Mengapa sulit ?” tanya saya heran.
”Kamu sudah beda sekarang, mungkin teman spesialmu juga sudah berbeda keadaannya. Malah jangan-jangan dia tidak seperti kamu yang melo dan selalu mengingatnya”, saya mencoba menyadarkan dari mimpinya.
”Ah, kamu sok tahu”, katanya ketus. Aneh juga nih kawan pikirku. Anak cowok kok kayak begini, bukannya mikirin masa depan malah tenggelam oleh masa lalunya yang nggak jelas. Saya tinggalkan dia sebentar di kamar kontrakan kami yang berantakan untuk menunaikan sholat Isya.
Selesai sholat saya hampiri kawan yang sekarang asyik memainkan gitar menyanyikan lagu lawas ciptaan Pance Pondaag. Saya hanya senyum-senyum melihat gayanya seperti pujangga yang patah hati. Kenapa sih kawan ini, biasanya ceria sekali kok tiba-tiba jadi berubah begini. Saya hampiri dia sambil ikutan menyanyikan sebait syair.
Kalau dulu kita tak bertemu,
takkan pernah ku rasakan sakitnya rindu.
Kalau dulu kita tak kenalan,
takkan pernah kurasakan jatuh cinta.....
Hmmm... Boleh juga lagunya nih. Pas sekali dengan suasana hatinya yang sedang dilanda rindu. Hanya saja rindunya terlarang seperti lagunya Broery. Saya hanya mentertawakan kecengengan teman ini.
„Bro, udah gini hari. Dia juga udah lupain kamu kalee“, ledek saya sambil tertawa.
„Sial kamu!“ umpatnya kesal.
„Loh, realistis bro! Apa masalahmu? Lihat kedepan tugas kita banyak, masa depanmu masih panjang!“ saya kembali mencoba menyadarkannya.
„Bukan begitu bro“, mencoba menyanggah kata-kata saya.
”Kamu nggak tahu ceritanya, jangan coba membujuk aku melupakan dia”, katanya sungguh-sungguh.
”Ok, man. Cuma nggak jadi bikin kamu kayak pesakitan gitu. Biarlah dia menjadi kenangan indah buatmu. Simpanlah dia ditempat yang spesial dalam relung hatimu, tapi jangan jadikan dia bayang-bayang dalam hidupmu“. Aku coba lagi dengan pilihan kata yang mudah-mudahan mengena.
Dia terdiam sambil meletakkan gitar Yamaha C-40 kesayangannya. Tangannya dikepalkan, sambil menunduk dia mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu bertemu dengan mantannya tersebut lewat chatting di internet. Mantannya cerita kalau dia bosan dengan kehidupan rumah tangganya yang monoton dan suaminya yang pendiam dan kurang ekspresif tidak seperti dirinya. Kemudian mereka berdua mengenang kembali kisah cinta mereka yang dahulu pernah terjalin namun putus tak jelas masalahnya. Sekarang mantan pacarnya itu menceritakan penderitaanya dan mencoba mengenang kebahagiaan yang dulu sempat mereka rasakan. Krisna tergoda, dia merasa bersalah dulu memutuskan hubungan tanpa sebab yang jelas. Sekarang dia bimbang dan merasa bertanggung jawab atas penderitaan mantan kekasihnya tersebut. Mereka saling menumpahkan rasa rindunya lewat percakapan di internet. Tanpa terasa perasaan yang dulu pernah ada diantara mereka berdua kembali terjalin. Sekarang dia tersiksa sekali dengan perasaannya ini. Saya terkejut sekali dengan ceritanya tersebut.
”Gila, ini sudah nggak bener bro!“ komentar saya sedikit keras kepadanya.
”Ini nggak main-main, kamu harus menyudahinya. Jelaskan kepadanya kondisi kamu sekarang. Kamu bukan yang dulu lagi. Kamu dan dia sekarang sudah berbeda. Kamu jangan main api Bro!“ protesku kepadanya.
„Ok, aku ngerti! Tapi bagaimana cara melupakannya? Bagaimana cara menghilangkan rasa bersalah ini?“ katanya mencoba mencari jawaban.
Terlihat dia sedikit gugup setelah aku menghakiminya. Sebenarnya aku kasihan sekali padanya. Tidak ingin kawan baikku ini tersiksa oleh sesuatu yang menurutku tidak penting. Tapi tidak adil rasanya jika aku tidak mencoba menyelami masalahnya lebih dalam. Kurang obyektif jika aku terus menerus menghakimi perasaannya.
“Baiklah bro, sekarang kamu sholat dahulu. Berpikirlah sebentar, lupakan masalah kamu sekejap dan berikan aku waktu untuk berpikir“ saranku kepadanya.
Ia beranjak meninggalkan aku sendiri dalam kamar kontrakan yang lumayan bagus namun berantakan penuh dengan berkas-berkas kerjaan kami berdua. Beginilah nasib anak kos yang jauh dari keluarga. Satu-satunya hiburan di daerah seperti ini hanya jalan-jalan menikmati pemandangan kota atau diam di kontrakan sambil ngobrol dan gitaran dengan teman-teman. Setiap maghrib paling kami telepon-teleponan dengan anak istri di Jakarta. Biasanya menanyakan kabar istri dan anak-anak. Selebihnya kami bertemu dengan teman dan kerjaan kantor.
Waktu terasa lamban sekali jika kita penempatan di daerah seperti ini, terutama di daerah di luar Jawa. Tidak seperti di Jakarta yang sibuk dan penuh hiburan, di sini penduduknya hidup santai dan sangat menikmati setiap detik dari kehidupannya. Kami yang biasa kerja cepat jika masih di Jakarta dulu terbawa oleh kehidupan santai di kota ini. Satu-satunya hal yang menyesakkan adalah jauh dari keluarga.
Beberapa saat kemudian Krisna masuk dan langsung menyeruput kopinya yang sudah dingin.
”Benar bro, kamu benar, kenapa aku bisa gila begini ya”, ujarnya sambil mengucek rambutnya hingga berantakan.
”Kamu hanya terbawa emosi, sebenarnya nggak perlu kayak begini. Kasihan dia, kasihan istrimu. Realistislah sedikit, banyak orang diluar sana yang sangat mengharapkan dan mencintaimu. Teleponlah ke rumah katakan kepada istrimu bahwa kau sangat mencintainya”. Nasihat saya kepadanya. Krisna segera meraih handphone dan segera menghubungi istri dan anaknya. Setelah menghubungi keluarganya di Jakarta, ia terlihat mulai agak sedikit tenang.
”Nggak ada yang salah di sini bro, kataku menenangkannya. Segala sesuatu selalu ada hikmahnya, kamu jangan terbawa emosi. Hubungan kamu dengannya hanya emosi sesaat dan itu merugikan kedua pihak. Kamu putus dahulu memang sudah merupakan takdir dan itu akhirnya mempertemuka kamu dengan istrimu sekarang”. Nasihat saya kepadanya. ”Lalu bagaimana dengannya, dia tidak bahagia hidupnya”, katanya kemudian.
”Itupun bagian dari jalan hidupnya, dan itu bukan karena kesalahan kamu. Hidup ini pilihan, kamu atau dia memilih sendiri jalan hidup kalian. Begitu juga aku, tak ada yang salah. Perasaan kamu yang salah, kamu mengganggu rumah tangga orang. Mungkin suatu saat dia akan menemukan kembali kebahagiaannya, tapi dengan pasangannya. Kamu, jalani sendiri hidupmu sekarang”. Sementara saya menasihatinya, tampak dia merenung dan memkirkan kata demi kata.
”Thanks ya bro, aku harus memutuskan sekarang, dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya”, ujarnya berupaya untuk tegar.
”Benar bro, kamu laki-laki, kamulah peran utama dalam kehidupanmu. Jadikan kisah hidupmu seperti dalam sinetron yang berakhir dengan bahagia. Jangan menjadi penjahat atau pecundang dalam kisah hidupmu. Cuma sekali bro, cuma sekali kita hidup. Jangan sampai hidup kalian berantakan dan berakhir dengan buruk. Kamu yang memilih dan memutuskan jadilah bijaksana”. Nasihat saya sambil memperhatikan kawan baik saya ini menunduk memandangi lantai.
”Thanks bro, makasih sudah mengingatkan” ucapnya tulus.
”Ok bro, itulah gunanya teman” kataku sambil menepuk bahunya. Kamipun segera bergegas untuk tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.25 WITA. Tidurlah teman, karena besok jika kau terbangun, kamu akan menghadapi masa depan dan itu kenyataan. Besok pagi bukan masa lalumu, tidurlah, bisikku dalam hati dan berdoa untuk kebahagiaan semua orang yang mencintai aku.
Manado, Februari 2010.
Untuk sahabat baikku Mas Krisna Hadi
Hari ini Krisna berbeda dari biasanya. Entah kenapa sejak pulang kerja tadi sore wajahnya sedikit murung. Sepertinya ada masalah yang menimpanya.
”Ada apa sih bro? Tampangmu kok kusut begitu” tanyaku.
”Iya nih, aku ada sebuah kenangan yang akhir-akhir ini sangat mengganggku”, jawabnya santai sambil mengeluarkan sebungkus rokok. Kenangan? Ah, teman ini rupanya sulit melupakan masa lalunya pikir saya.
”Memang kenangan tentang apa sih?” tanyaku menyelidik. Waktu itu kami sedang duduk berdua dalam kamar kontrakan sambil menikmati rokok dan secangkir kopi.
”Seseorang...”, jawabnya pelan seperti tak ingin saya tahu.
”Siapa? Sahabatmu? Atau jangan-jangan mantan kamu?” kejar saya menebak isi kepalanya. Dia senyum sebentar ke arah saya.
”Pokoknya spesial buatku”, sambil memalingkan wjahnya seperti malu kalau aku tahu. ”Kenapa sih nggak bisa dilupakan saja”, tanyaku.
”Nggak bisa, soalnya sangat berkesan sekali”, katanya sambil menghisap rokoknya menerawang.
”Yah, kamu tuh nggak bakalan balik lagi mengulang memori yang sudah lalu. Sudahlah, lupakan saja”, saya mengulangi.
”Sulit, sulit sekali melupakannya”, jawabnya tetap keukeuh sambil mengangkat cangkir kopi dan mulai menyeruput pelan.
”Mengapa sulit ?” tanya saya heran.
”Kamu sudah beda sekarang, mungkin teman spesialmu juga sudah berbeda keadaannya. Malah jangan-jangan dia tidak seperti kamu yang melo dan selalu mengingatnya”, saya mencoba menyadarkan dari mimpinya.
”Ah, kamu sok tahu”, katanya ketus. Aneh juga nih kawan pikirku. Anak cowok kok kayak begini, bukannya mikirin masa depan malah tenggelam oleh masa lalunya yang nggak jelas. Saya tinggalkan dia sebentar di kamar kontrakan kami yang berantakan untuk menunaikan sholat Isya.
Selesai sholat saya hampiri kawan yang sekarang asyik memainkan gitar menyanyikan lagu lawas ciptaan Pance Pondaag. Saya hanya senyum-senyum melihat gayanya seperti pujangga yang patah hati. Kenapa sih kawan ini, biasanya ceria sekali kok tiba-tiba jadi berubah begini. Saya hampiri dia sambil ikutan menyanyikan sebait syair.
Kalau dulu kita tak bertemu,
takkan pernah ku rasakan sakitnya rindu.
Kalau dulu kita tak kenalan,
takkan pernah kurasakan jatuh cinta.....
Hmmm... Boleh juga lagunya nih. Pas sekali dengan suasana hatinya yang sedang dilanda rindu. Hanya saja rindunya terlarang seperti lagunya Broery. Saya hanya mentertawakan kecengengan teman ini.
„Bro, udah gini hari. Dia juga udah lupain kamu kalee“, ledek saya sambil tertawa.
„Sial kamu!“ umpatnya kesal.
„Loh, realistis bro! Apa masalahmu? Lihat kedepan tugas kita banyak, masa depanmu masih panjang!“ saya kembali mencoba menyadarkannya.
„Bukan begitu bro“, mencoba menyanggah kata-kata saya.
”Kamu nggak tahu ceritanya, jangan coba membujuk aku melupakan dia”, katanya sungguh-sungguh.
”Ok, man. Cuma nggak jadi bikin kamu kayak pesakitan gitu. Biarlah dia menjadi kenangan indah buatmu. Simpanlah dia ditempat yang spesial dalam relung hatimu, tapi jangan jadikan dia bayang-bayang dalam hidupmu“. Aku coba lagi dengan pilihan kata yang mudah-mudahan mengena.
Dia terdiam sambil meletakkan gitar Yamaha C-40 kesayangannya. Tangannya dikepalkan, sambil menunduk dia mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu bertemu dengan mantannya tersebut lewat chatting di internet. Mantannya cerita kalau dia bosan dengan kehidupan rumah tangganya yang monoton dan suaminya yang pendiam dan kurang ekspresif tidak seperti dirinya. Kemudian mereka berdua mengenang kembali kisah cinta mereka yang dahulu pernah terjalin namun putus tak jelas masalahnya. Sekarang mantan pacarnya itu menceritakan penderitaanya dan mencoba mengenang kebahagiaan yang dulu sempat mereka rasakan. Krisna tergoda, dia merasa bersalah dulu memutuskan hubungan tanpa sebab yang jelas. Sekarang dia bimbang dan merasa bertanggung jawab atas penderitaan mantan kekasihnya tersebut. Mereka saling menumpahkan rasa rindunya lewat percakapan di internet. Tanpa terasa perasaan yang dulu pernah ada diantara mereka berdua kembali terjalin. Sekarang dia tersiksa sekali dengan perasaannya ini. Saya terkejut sekali dengan ceritanya tersebut.
”Gila, ini sudah nggak bener bro!“ komentar saya sedikit keras kepadanya.
”Ini nggak main-main, kamu harus menyudahinya. Jelaskan kepadanya kondisi kamu sekarang. Kamu bukan yang dulu lagi. Kamu dan dia sekarang sudah berbeda. Kamu jangan main api Bro!“ protesku kepadanya.
„Ok, aku ngerti! Tapi bagaimana cara melupakannya? Bagaimana cara menghilangkan rasa bersalah ini?“ katanya mencoba mencari jawaban.
Terlihat dia sedikit gugup setelah aku menghakiminya. Sebenarnya aku kasihan sekali padanya. Tidak ingin kawan baikku ini tersiksa oleh sesuatu yang menurutku tidak penting. Tapi tidak adil rasanya jika aku tidak mencoba menyelami masalahnya lebih dalam. Kurang obyektif jika aku terus menerus menghakimi perasaannya.
“Baiklah bro, sekarang kamu sholat dahulu. Berpikirlah sebentar, lupakan masalah kamu sekejap dan berikan aku waktu untuk berpikir“ saranku kepadanya.
Ia beranjak meninggalkan aku sendiri dalam kamar kontrakan yang lumayan bagus namun berantakan penuh dengan berkas-berkas kerjaan kami berdua. Beginilah nasib anak kos yang jauh dari keluarga. Satu-satunya hiburan di daerah seperti ini hanya jalan-jalan menikmati pemandangan kota atau diam di kontrakan sambil ngobrol dan gitaran dengan teman-teman. Setiap maghrib paling kami telepon-teleponan dengan anak istri di Jakarta. Biasanya menanyakan kabar istri dan anak-anak. Selebihnya kami bertemu dengan teman dan kerjaan kantor.
Waktu terasa lamban sekali jika kita penempatan di daerah seperti ini, terutama di daerah di luar Jawa. Tidak seperti di Jakarta yang sibuk dan penuh hiburan, di sini penduduknya hidup santai dan sangat menikmati setiap detik dari kehidupannya. Kami yang biasa kerja cepat jika masih di Jakarta dulu terbawa oleh kehidupan santai di kota ini. Satu-satunya hal yang menyesakkan adalah jauh dari keluarga.
Beberapa saat kemudian Krisna masuk dan langsung menyeruput kopinya yang sudah dingin.
”Benar bro, kamu benar, kenapa aku bisa gila begini ya”, ujarnya sambil mengucek rambutnya hingga berantakan.
”Kamu hanya terbawa emosi, sebenarnya nggak perlu kayak begini. Kasihan dia, kasihan istrimu. Realistislah sedikit, banyak orang diluar sana yang sangat mengharapkan dan mencintaimu. Teleponlah ke rumah katakan kepada istrimu bahwa kau sangat mencintainya”. Nasihat saya kepadanya. Krisna segera meraih handphone dan segera menghubungi istri dan anaknya. Setelah menghubungi keluarganya di Jakarta, ia terlihat mulai agak sedikit tenang.
”Nggak ada yang salah di sini bro, kataku menenangkannya. Segala sesuatu selalu ada hikmahnya, kamu jangan terbawa emosi. Hubungan kamu dengannya hanya emosi sesaat dan itu merugikan kedua pihak. Kamu putus dahulu memang sudah merupakan takdir dan itu akhirnya mempertemuka kamu dengan istrimu sekarang”. Nasihat saya kepadanya. ”Lalu bagaimana dengannya, dia tidak bahagia hidupnya”, katanya kemudian.
”Itupun bagian dari jalan hidupnya, dan itu bukan karena kesalahan kamu. Hidup ini pilihan, kamu atau dia memilih sendiri jalan hidup kalian. Begitu juga aku, tak ada yang salah. Perasaan kamu yang salah, kamu mengganggu rumah tangga orang. Mungkin suatu saat dia akan menemukan kembali kebahagiaannya, tapi dengan pasangannya. Kamu, jalani sendiri hidupmu sekarang”. Sementara saya menasihatinya, tampak dia merenung dan memkirkan kata demi kata.
”Thanks ya bro, aku harus memutuskan sekarang, dan aku tidak ingin mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya”, ujarnya berupaya untuk tegar.
”Benar bro, kamu laki-laki, kamulah peran utama dalam kehidupanmu. Jadikan kisah hidupmu seperti dalam sinetron yang berakhir dengan bahagia. Jangan menjadi penjahat atau pecundang dalam kisah hidupmu. Cuma sekali bro, cuma sekali kita hidup. Jangan sampai hidup kalian berantakan dan berakhir dengan buruk. Kamu yang memilih dan memutuskan jadilah bijaksana”. Nasihat saya sambil memperhatikan kawan baik saya ini menunduk memandangi lantai.
”Thanks bro, makasih sudah mengingatkan” ucapnya tulus.
”Ok bro, itulah gunanya teman” kataku sambil menepuk bahunya. Kamipun segera bergegas untuk tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.25 WITA. Tidurlah teman, karena besok jika kau terbangun, kamu akan menghadapi masa depan dan itu kenyataan. Besok pagi bukan masa lalumu, tidurlah, bisikku dalam hati dan berdoa untuk kebahagiaan semua orang yang mencintai aku.
Manado, Februari 2010.
Untuk sahabat baikku Mas Krisna Hadi
No comments:
Post a Comment