22 Agustus 2009
Hari pertama Ramadhan kali ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya di hari pertama Ramadhan kami mengunjungi rumah orang tua di Pasarminggu untuk sahur atau berbuka puasa bersama. Awal menjelang puasa saya mendapat tugas ke luar kota dan baru pulang pas sehari menjelang puasa. Lagipula ada kakak ipar beserta anak-anaknya yang datang menginap untuk beberapa hari. Jadilah hari pertama puasa tahun ini terpaksa di rumah sendiri.
Yang bikin sedih adalah sebuah pesan singkat melalui handphone dari adik yang kebetulan masih bujangan. Isinya mengabarkan kalau sahur nanti di rumah hanya bertiga, Ayah, Ibu dan Adik. Padahal malam setelah sholat tarawih saya beberapa kali menelepon ke nomornya ingin berbicara dengan Ibu dan Ayah.
Saya membayangkan perasaan kedua orang tua yang melihat kondisinya jadi sendiri lagi. Padahal dulu rumah selalu ramai dengan tujuh orang anak. Bayangkan jika ingin sahur Ayah dan Ibu membangunkan kami satu persatu. Bahkan jika ada yang sulit dibangunkan, jangan kaget jika muka kita akan dipercikan air dari sebuah gayung. Biasanya bangun tidur untuk makan sahur adalah saat-saat yang paling menyebalkan, malas makan. Sepanjang rutinitas makan tersebut Ibu tak henti-hentinya bicara. Memarahi salah seorang dari kami yang masih tertidur, membujuk adik agar mau ikutan makan sahur, menyiapkan ini dan itu, sambil tak henti-hentinya bicara. Puhhh... selalu ramai.
Selepas sholat subuh merupakan saat-saat yang paling mengasyikan bagi anak-anak kampung seperti kami. Biasanya banyak sekali kegiatan kami setelah shalat subuh. Kalau dulu, ketika di kampung kami masih banyak pohon buah-buahan, setelah sholat subuh kami selalu berlomba menuju kebun yang ada pohon buahnya untuk mencari buah jatuhan. Buah jatuhan ini adalah buah yang jatuh karena sudah masak dan kemudian terkena angin atau jatuh karena gagal di santap kelelawar. Beberapa tahun kemudian, kegiatan setelah subuh diramaikan oleh banyaknya anak-anak yang melakukan jalan-jalan pagi sambil main petasan atau mengincar gadis sebaya bagi yang sedang kasmaran. Bahkan ada yang bermain bulu tangkis atau bermain sepak bola. Bagi yang melakukan aktifitas olahraga seperti ini biasanya siangnya sudah langsung teler, bahkan bisa bikin batal puasa. Pastinya subuh pagi setelah sahur menjadi waktu favorit bagi kami. Jika sekarang setelah subuh biasanya diisi dengan ceramah dan pengajian, ketika itu yang ikut pengajian hanyalah orang-orang tua. [Parah amat ya... Anak-anak ? Mainnn!!!]
Begitulah bulan puasa ketika kami kecil, gembira karena banyaknya kegiatan yang hanya ada dibulan Ramadhan. Sore hari menjelang berbuka kami kumpul di Masjid atau musholah untuk berbuka puasa bersama. Kegiatan malam hari setelah sholat tarawih biasanya bermain petasan dan kembang api atau bermain 'bleguran' (meriam bambu). Bagi anak-anak tertentu ada juga yang berjualan petasan atau kembang api. Untuk kegiatan di siang harinya kami menyewakan buku cerita. Waktu kecil dulu, cerita favoritnya adalah cerita Lima Sekawan, Trio Detektif, Sapta Siaga, serta komik bergambar seperti komik Petruk dan Gareng karya Tatang. S.
Masa kecil di sebuah kampung di pinggiran Jakarta, penuh dengan cerita. Anak-anakku sekarang ? sepertinya tidak mungkin mereka mengalami pengalaman yang sama dengan saya dulu. Begitulah bulan Ramadhan bagi kami dulu. Kegembiraan dan kemeriahannya sangat terasa bagi kami anak-anak kampung.
Hari pertama Ramadhan kali ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya di hari pertama Ramadhan kami mengunjungi rumah orang tua di Pasarminggu untuk sahur atau berbuka puasa bersama. Awal menjelang puasa saya mendapat tugas ke luar kota dan baru pulang pas sehari menjelang puasa. Lagipula ada kakak ipar beserta anak-anaknya yang datang menginap untuk beberapa hari. Jadilah hari pertama puasa tahun ini terpaksa di rumah sendiri.
Yang bikin sedih adalah sebuah pesan singkat melalui handphone dari adik yang kebetulan masih bujangan. Isinya mengabarkan kalau sahur nanti di rumah hanya bertiga, Ayah, Ibu dan Adik. Padahal malam setelah sholat tarawih saya beberapa kali menelepon ke nomornya ingin berbicara dengan Ibu dan Ayah.
Saya membayangkan perasaan kedua orang tua yang melihat kondisinya jadi sendiri lagi. Padahal dulu rumah selalu ramai dengan tujuh orang anak. Bayangkan jika ingin sahur Ayah dan Ibu membangunkan kami satu persatu. Bahkan jika ada yang sulit dibangunkan, jangan kaget jika muka kita akan dipercikan air dari sebuah gayung. Biasanya bangun tidur untuk makan sahur adalah saat-saat yang paling menyebalkan, malas makan. Sepanjang rutinitas makan tersebut Ibu tak henti-hentinya bicara. Memarahi salah seorang dari kami yang masih tertidur, membujuk adik agar mau ikutan makan sahur, menyiapkan ini dan itu, sambil tak henti-hentinya bicara. Puhhh... selalu ramai.
Selepas sholat subuh merupakan saat-saat yang paling mengasyikan bagi anak-anak kampung seperti kami. Biasanya banyak sekali kegiatan kami setelah shalat subuh. Kalau dulu, ketika di kampung kami masih banyak pohon buah-buahan, setelah sholat subuh kami selalu berlomba menuju kebun yang ada pohon buahnya untuk mencari buah jatuhan. Buah jatuhan ini adalah buah yang jatuh karena sudah masak dan kemudian terkena angin atau jatuh karena gagal di santap kelelawar. Beberapa tahun kemudian, kegiatan setelah subuh diramaikan oleh banyaknya anak-anak yang melakukan jalan-jalan pagi sambil main petasan atau mengincar gadis sebaya bagi yang sedang kasmaran. Bahkan ada yang bermain bulu tangkis atau bermain sepak bola. Bagi yang melakukan aktifitas olahraga seperti ini biasanya siangnya sudah langsung teler, bahkan bisa bikin batal puasa. Pastinya subuh pagi setelah sahur menjadi waktu favorit bagi kami. Jika sekarang setelah subuh biasanya diisi dengan ceramah dan pengajian, ketika itu yang ikut pengajian hanyalah orang-orang tua. [Parah amat ya... Anak-anak ? Mainnn!!!]
Begitulah bulan puasa ketika kami kecil, gembira karena banyaknya kegiatan yang hanya ada dibulan Ramadhan. Sore hari menjelang berbuka kami kumpul di Masjid atau musholah untuk berbuka puasa bersama. Kegiatan malam hari setelah sholat tarawih biasanya bermain petasan dan kembang api atau bermain 'bleguran' (meriam bambu). Bagi anak-anak tertentu ada juga yang berjualan petasan atau kembang api. Untuk kegiatan di siang harinya kami menyewakan buku cerita. Waktu kecil dulu, cerita favoritnya adalah cerita Lima Sekawan, Trio Detektif, Sapta Siaga, serta komik bergambar seperti komik Petruk dan Gareng karya Tatang. S.
Masa kecil di sebuah kampung di pinggiran Jakarta, penuh dengan cerita. Anak-anakku sekarang ? sepertinya tidak mungkin mereka mengalami pengalaman yang sama dengan saya dulu. Begitulah bulan Ramadhan bagi kami dulu. Kegembiraan dan kemeriahannya sangat terasa bagi kami anak-anak kampung.
No comments:
Post a Comment