Sunday, November 9, 2008

MELURUSKAN MAKNA JIHAD MENCEGAH TERORISME


Tim Penanggulangan Terorisme
(Melalui Pendekatan Agama Islam)




I. PENDAHULUAN
Jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat penting. Jihad me-rupakan bagian tak terpisahkan dari iman. Kuat atau lemahnya iman seseorang –salah satunya- diukur dari keberanian dan kesabarannya berjihad di jalan Allah. Iman yang kuat akan senantiasa menggelorakan semangat seorang mukmin untuk berjihad. Sebaliknya, iman yang lemah membuat seorang mukmin takut berjihad karena kesulitan dan tantangan yang sangat berat. Bagi mukmin yang beriman dan berjihad dijanjikan oleh Allah pahala surga, ke-hidupan yang mulia dan kedudukan yang terhormat di sisi-Nya.
Sejarah gemilang perjuangan umat Islam dalam membina dan membangun masyarakat muslim terkait erat dengan jihad Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah Muhammad SAW beserta para sahabatnya menjadikan jihad sebagai spirit menegakkan syariat Islam. Para pejuang kemerdekaan di negara-negara muslim mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan yang bertentangan dengan tauhid, tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan. Dengan semangat jihad, para pahlawan kemerdeka-an Indonesia yang mayoritas adalah para ulama dan tokoh muslim telah melawan penjajahan yang menimbulkan penderita-an, kebodohan dan kemiskinan rakyat.
Sayangnya, jihad sebagai ajaran Islam yang suci telah mengalami per-geseran makna dan pengamalannya. Beberapa kelompok muslim menyalah-gunakan jihad sebagai dalih untuk melakukan tindakan kekerasan, terorisme dan perbuatan makar. Dalam beberapa dasa warsa terakhir jihad secara sangat efektif dipergunakan oleh kelompok-kelompok muslim ekstrim untuk melegal-kan bom bunuh diri.
Pemahaman jihad yang keliru sudah terbukti menodai kesucian jihad dan mencoreng wajah Islam yang damai. Sehubungan dengan aksi- aksi yang meng-atasnamakan jihad yang keliru tersebut, lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan pesantren disorot tajam, bahkan dituduh sebagai sarang teroris. Sesuatu yang sangat merugikan citra Islam.

II.PENGERTIAN JIHAD
Menurut pengertian bahasa, jihad berasal dari kata juhd (??????) yang berarti kemampuan, atau mengeluarkan sepenuh tenaga dan kemampuan dalam mengerja-kan sesuatu. Kata jihad juga berasal dari kata jahd ( ?????? ) yang berarti kesukaran yang untuk mengatasinya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jihad juga berarti perang. Demikianlah keterangan dari Wahbah al-Zuhaili dalam Kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu. Singkatnya, menurut pengertian bahasa, jihad berarti bekerja keras, bersungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencapai tujuan yang mulia.
Menurut Al-Raghib al-Isfahani, dalam Kitab Mu’jam Mufradat lial-fadz Al-Qur’an dijelaskan bahwa yang di-maksud dengan jihad adalah mengerah-kan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu setan dan musuh yang tampak yaitu orang kafir yang memusuhi Islam. Jihad dalam pengerti-an ini tidak hanya mencakup pengerti-an perang melawan musuh yang memerangi Islam tetapi lebih luas lagi, jihad berarti berusaha sekuat tenaga dan kemampuan untuk menga-lahkan nafsu setan dalam diri manusia.
Selain pengertian di atas, para fuqaha mengartikan jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah baik secara secara langsung, maupun dalam bentuk pemberian bantuan keuangan, pen-dapat atau penyediaan logistik dan lain-lain untuk memenangkan pe-perangan (Ibn Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin, III/336). Senada dengan Ibn Abidin, An-Nabhani dalam Asy-Syakhsiyah al- Islamiyyah, II/53 men-definisikan jihad sebagai perang ter-hadap orang-orang kafir untuk mening-gikan kalimat Allah.
Di dalam Al-Qur’an kata jihad dalam berbagai kata bentukannya disebutkan sebanyak 41 kali. Dari beberapa ayat tersebut, jihad dapat berarti per-juangan yang berat, mengerahkan segenap kemampuan untuk meraih suatu tujuan dan berperang. Jihad yang berarti berperang lebih banyak disebutkan dengan kata “qital”, hanya sebagian kecil yang disebutkan dengan kata “jihad”. Jihad dalam pengertian pertama –bekerja keras dengan seluruh kemampuan- antara lain disebutkan dalam firman Allah:
“Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih me-maksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu (apalagi jika kamu telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu apapun), jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik.” (Qs. Luqman [31] : 15). Sedangkan jihad yang berarti ber-perang antara lain disebutkan dalam firman Allah, surat al-Baqarah, ayat 190: ?? “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguh-nya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Baqarah [2]: 190). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan segenap kemampuan untuk mencapai tujuan yang luhur di jalan Allah. Jihad dapat dilakukan dengan bekerja keras melawan hawa nafsu yang menghancurkan dan menjerumuskan manusia kepada ke-binasaan. Jihad dalam bentuk perang diijinkan oleh Allah demi menjaga kehormatan, harkat dan martabat manusia dan kaum muslimin.

III.BENTUK-BENTUK JIHAD
Jihad sebagai salah satu wujud pengamalan ajaran Islam dapat di-laksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam. Dalam situasi kaum muslimin mengalami penindasan, jihad dapat dilakukan dalam bentuk peperangan untuk membela diri. Tetapi, dalam situasi damai jihad dapat dilakukan dalam bentuk amal shalih seperti menunaikan ibadah haji, membantu fakir-miskin, berbakti kepada orang tua, rajin belajar dan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.

  1. 1. Perang Islam mengajarkan kepada peme-luknya untuk tidak pernah gentar berperang di jalan Allah. Apabila kaum muslim dizalimi, fardhu kifayah bagi kaum muslim untuk berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk peperangan diijinkan oleh Allah dengan beberapa syarat: untuk membela diri, dan melindungi dakwah. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah: \"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdoa, \"Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi -Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.\" (Qs. an-Nisa[4]:75)
    “Diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (Qs. al-Hajj [22] : 39). Dalam berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui batas, membunuh perempuan, anak-anak dan orang-orang tua renta yang tidak ikut berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti persediaan makanan, minuman dan pemukiman. Perang juga tidak boleh dilakukan apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan. Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan gencatan senjata atau meneken perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Qur’an, peperangan dilaku-kan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan kezaliman), dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk melakukan peperangan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah, ayat 193: “Perangilah mereka sampai batas berakhirnya fitnah, dan agama itu hanya bagi Allah semata. Jika mereka telah berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-¬orang zalim. (Qs. al-Baqarah [2] : 193)
    Demikianlah ajaran Islam mengenai perang. Singkatnya, perang diijinkan dalam situasi dan kondisi yang sangat terpaksa. Apabila perang terpaksa dilakukan, peperangan tersebut harus dilakukan untuk tujuan damai, bukan untuk permusuhan dan membuat ke-rusakan di muka bumi. 2. Haji Mabrur
    Haji yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan, haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam beberapa Hadis, diantaranya:
    Aisyah ra berkata : Aku menyatakan kepada Rasulullah SAW : tidakkah kamu keluar untuk berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada amalan yang lebih baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan : tidak ada, tetapi untukmu jihad yang lebih baik dan lebih indah adalah melaksanakan haji menuju haji yang mabrur.
    Pada riwayat al-Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda :
    Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad, beliau menjawab sebaik-baik jihad adalah haji.
    3. Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim
    Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara yang damai melalui organisasi yang modern, memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan yang mem-bawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim disebutkan, antara lain, dalam hadits riwayat at-Tirmizi:
    Abu Said al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim.
    Kata A’dzam ( ????) pada hadits di atas, menunjukkan bahwa upaya menyampai-kan kebenaran kepada penguasa yang zalim merupakan suatu perjuangan yang sangat besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.
  2. 4. Berbakti kepada orang tua

  3. Jihad yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya ketika mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat. Seorang anak tetap harus menghormati orangtua-nya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap orang tua yang memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs. Luqman, [31] : 14).
    Jihad dalam berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam Hadis.
    Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya. Kemudian Nabi SAW bertanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.
    Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbing-an, dan kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memper-lakukan orang tua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orang tua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan kelemahan dan keku-rangannya serta berperilaku dengan tutur kata dan perbuatan yang mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Isra [17] ayat 23:
    “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan \"ah\" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
  4. 5. Menuntut Ilmu dan Mengembangkan Pendidikan
    Bentuk jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan pendidikan masyarakat. Di dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan:
    Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka la sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain. (riwayat Ibnu Majah).
    Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan dan mengajarkan ilmu sebagaimana disebutkan pada hadits di atas, diposisikan seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam dapat memajukan pendidikan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
  5. 6. Membantu Fakir-Miskin.

  6. Jihad yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli kepada sesama, menyantuni kaum papa. Bantuan pemberdayaan dapat diberikan dalam bentuk perhatian dan perlindungan atau bantuan material. Hadis yang diriwayatkan Bukhori berikut ini menjelaskan:
    \"Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, \"Orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan orang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah.”
    Memberikan bantuan finansial dan perlindungan kepada orang miskin dan janda, merupakan amalan yang sama nilainya dengan jihad di jalan Allah. Sebab, jihad dan perhatian atau kepedulian kepada orang yang mem-butuhkan bantuan, keduanya sama-sama membutuhkan pengorbanan. Dengan membantu dan memperhatikan orang-orang lemah, kita dituntut untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk kepentingan orang lain. Dan inipun, sangat sesuai dengan pengertian jihad yang sesungguhnya. Pemahaman jihad yang baik dan benar, berimplikasi positif terhadap perilaku umat Islam. Hasilnya setiap muslim memiliki sense of crisis, suka menolong terhadap orang lain, tidak mengobarkan permusuhan, menjauhi kekerasan, serta mengedepankan per-damaian. Jihad, juga dapat mening-katkan etos kerja umat Islam, yaitu dengan semangat dan kesungguhan melakukan tugas dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kehidupan. Jihad dapat mengalahkan kemalasan dan ketakutan. Dengan semangat jihad, umat Islam dapat menggunakan semua potensi maksimal yang dimilikinya untuk mengaktualisasikan diri dan meningkatkan sumber dayanya, se-hingga dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Di tengah banyaknya ben-cana dan musibah yang merenggut ribuan nyawa, jihad dalam bentuk kepedulian dan kepekaan kepada sesama, sangat diperlukan.

    IV. PERBEDAAN JIHAD DENGAN TERORISME
    Selama ini terdapat anggapan yang salah di dalam masyarakat yang menya-makan jihad dengan terorisme. Bahkan, oleh kalangan yang tidak mengerti ajaran Islam yang luhur, Islam dicap sebagai agama teroris. Kekeliruan pemahaman ini bisa saja disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai Islam, tetapi tidak tertutup kemungkinan karena sebagian muslim justeru melakukan jihad melalui aksi- aksi terorisme. Padahal antara jihad dan terorisme jelas terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), terorisme adalah “tindakan kejahat-an terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well-organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiscriminative).” Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Dalam kamus Webster\'s New School and Office Dictionary dijelaskan: \"terrorism is the use of violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by terror,...” ( Terorisme adalah penggunaan kekerasan, intimidasi, dsb untuk merebut atau meng-hancurkan, terutama, sistem pemerintahan yang berkuasa melalui teror...). Dari ketiga definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan (crime) yang mengancam kedaulatan negara (against state/nation),melawan kemanusiaan (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan. RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di AS, melalui sejumlah pene-litian dan pengkajiannya, menyimpulkan bahwa setiap tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal. Definisi lain menyatakan bahwa: (1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal, termasuk juga dalam situasi diberlakukannya hukum perang; (2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian penye-rangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme; (3) meskipun seringkali dilaku-kan untuk menyampaikan tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat disebut sebagai aksi politik. Dari uraian tersebut di atas, jelas sekali perbedaan antara terorisme dengan Jihad. Pertama, terorisme bersifat merusak (ifsad) dan anarkis/chaos (faudha). Kedua, terorisme bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain. Ketiga, terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebalik-nya, Jihad bersifat perbaikan (ishlah), sekalipun –sebagian- dilakukan dengan berperang. Jihad bertujuan untuk me-negakkan agama Allah dan atau membela hak pihak yang terdzalimi. Jihad dilaku-kan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh Syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas. Karena itulah, menurut MUI, hukum melakukan teror secara qath’ie adalah haram, dengan alasan apapun, apalagi jika dilakukan di negeri yang damai (dar al-shulh) dan negara Muslim seperti Indonesia. Hukum jihad adalah wajib bagi yang mampu dengan beberapa syarat. Pertama, untuk membela agama dan menahan agresi musuh yang menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga kemaslahatan atau perbaikan, menegak-kan agama Allah dan membela hak-hak yang teraniaya. Ketiga, terikat dengan aturan hukum Islam seperti musuh yang jelas, tidak boleh membunuh orang-orang tua renta, perempuan dan anak-anak yang tidak ikut berperang.

    V. BOM BUNUH DIRI BUKAN JIHAD
    A. Pengertian dan Cakupan Mati Syahid
    Kata syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Di antaranya firman Allah yang menyatakan:
    “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [4] : 69).

    Menurut Tafsar al-Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik dengan argumen atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid. Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama Allah itulah yang benar. Lain dari itu adalah batil (ar-Razi, 1995: jilid 5, h.180).

    Dalam ungkapan yang lain, penulis at-Tafsir al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan ke-benaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang dan tombak hingga ia terbunuh (Hijazi, 1969: juz 5, h. 32). Dalam pandangan kedua mufasir itu, senjata yang diguna-kan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang digunakan pada masa aI-Qur\'an diturunkan.

    Menurut penulis Tafsir Majma\' al-Bayan, syuhada adalah orang¬-orang ter-bunuh di jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim sangat dianjur-kan untuk mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh mendambakan di-bunuh orang kafir sebab perbuaatan itu adalah maksiat. yang terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam menegakkan kebenaran karena Allah, mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu Syuhada adalah predikat terpuji. Orang boleh mendambakan predikat itu, tetapi orang tidak boleh mendambakan dibunuh oleh orang kafir, sebab perbuatan itu adalah maksiat (ath-Thabarsi, 1994: jilid 3, h. 121).

    Penegasan yang hampir sama dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180). Berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan: \"Barang siapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya sampai pada derajat ke-syahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya\" (an-Nawawi, 2005:245)

    Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lainnya Rasulullah SAW. mengatakan: Barang siapa mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai syahid” (an-Nawawi, 2005: 245).

    Berdasarkan kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang dimaksud harus dengan jalan yang benar. Selain itu, derajat kesyahidan dapat diperoleh meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain, derajat kesyahidan terletak pada nilai perbuat-an seorang muslim yang telah turut serta berperang di jalan Allah. Menurut al-Jurjawi, Allah SWT. memberi keutamaan kepada orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: \"Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh\" (Qs. at-Taubah [9]: 111).
    Itu tidaklah dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian. Namun, maksudnya adalah mereka berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh, maka hal itu adalah sesuatu yang jelas dan dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti keluarga, harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi, 1997: jilid 2, h. 221-222).

    Syuhada dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy. Dari kaum muslimin gugur sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan menghalau pasukan musuh.

    Perang Badar terjadi pada tahun kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah untuk menghindari ganggu-an dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi pada periode Madinah, maka perang antara kedua belah pihak tak dapat dielakkan. Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan:
    \"Janganlah kalian mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka tegarlah. Muttafaqun \'alaih (an-Nawawi, 2005: 248).

    Tentara muslim yang mengikuti peperangan di jalan Allah terikat dengan sejumlah ketentuan. Syarat-syarat untuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2) Islam, 3) Sehat jasmani dan rohani, dan 4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak pengecut (Khattab, 1989: 56).
    Hampir senada dengan penjelasan di atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 32). Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat, maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah peperangan tidak boleh dibunuh, orang yang menjauhi perang tidak halal dibunuh atau ditawan. Islam juga mengharamkan untuk membunuh wanita, anak-anak, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad (ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah (penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang yang ter-luka, mengejar orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana tindakan operasi bedah, tidak boleh me-lampaui tempat penyakit itu berada (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 60).

    Ketentuan yang disebutkan di atas merujuk pada sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW. Di antaranya:
    Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwasanya Nabi SAW. bersabda:\"Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah, sesuai tuntunan agama (yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian, dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (H.R. Abu Daud) (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).
    Orang jompo dan wanita yang dikecualikan untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi pertim-bangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan akhirat. Istilah syahid akhirat digunakan terhadap: a) orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad, et.al., 2004: jilid 2, h. 200). Pembagian syahid semacam ini dikemukakan pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as-Sunnah (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).

    Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang memuji orang-orang yang mati syahid, di antaranya:
      “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya\"(QS al-Baqarah-12: 154).
      “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur\'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka ber-gembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (Qs. at-Taubah- 9:111).

      B. Tindakan Bom Bunuh Diri
      Saat ini, tindakan bom bunuh diri banyak dilakukan di berbagai tempat, biasanya sebagai salah satu bentuk perlawanan pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih kuat. Tindakan bom bunuh diri biasanya dilakukan terhadap sasaran yang tidak jelas. Tindakan ini tidak hanya menyebabkan pelakunya meninggal dunia, tetapi biasanya juga menyebabkan kematian banyak orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang menjadi korban sering tidak mempunyai kaitan dengan pihak yang dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri.Pelaku bom bunuh diri atau pendukungnya merujuk kepada hadis-hadis yang menceritakan tentang tindakan tentara muslim yang menerobos pihak lawan untuk melakukan penyerangan hingga akhirnya ia mati terbunuh. Tindakan semacam ini disebut inghimas (jibaku).

      Ada sejumlah hadits yang melukiskan tindakan inghimas. Di antaranya:
      Dari Abu Bakr bin Abu Musa al-Asy\'ari, ia berkata: \"Saya mendengar ayahku radhiyyalhu \'anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan musuh, berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda: \'Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah bayang-bayang pedang.\' Seorang laki- laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: \"Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW. mengatakan yang demikian ini?\" Abu Musa menjawab: \"Ya\". Abu Musa berkata: \"Orang itu lalu kembali ke kawan-kawannya seraya berkata: \'Saya mengucapkan salam kepada kalian.\' Ia kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampa-kkannya. Selanjutnya, ia berjalan sambil membawa pedangnya ke arah musuh dan menyerang dengan pedangnya itu hingga ia terbunuh. (H.R. Muslim) (an-Nawawi, 2005: 242).

      Hadis di atas berisi motivasi kepada tentara muslim yang sedang berhadapan dengan tentara musuh di medan perang. Imbalan berupa surga yang dijanjikan kepada mereka yang mati dalam perang, membuat anggota pasukan berani menghadapi musuh tanpa menghitung resiko yang bakal dialaminya, baik yang berupa cacat fisik maupun kematian. Kandungan hadits di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.

      Tindakan bom bunuh diri mem-punyai karakteristik. Di antaranya: Pertama, perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian yang direncanakan. Kedua, perbuatan ini menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan orang banyak. Ketiga , Perbuatan ini mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah. Keempat, perbuatan ini mempunyai tujuan yang tidak jelas dan sasaran yang tidak jelas pula. Kelima, pertimbangan subyektif sangat menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.

      Seorang ulama terkenal pada zaman ini, Wahbah Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu dalam bab Qowaid al-Jihad menyatakan bahwa jihad hanya terjadi pada tiga hal, yaitu:
      1. Apabila perbuatan itu terjadi pada saat bertemunya dua pasukan yang sedang saling bertempur, yaitu pasukan Islam dan pasukan musuh.
      2. Apabila penduduk suatu negeri muslim diserang oleh musuh;
      3. Apabila Amirul Mukminin, pemimpin negeri muslim, itu memerintahkan warganya untuk pergi ke medan perang.

      Kalau kita perhatikan, tampak beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits yang tidak membenarkan tindakan bom bunuh diri. Di antaranya adalah: Pertama, larangan Al-Qur’an untuk membunuh diri sendiri:
      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah (Qs. An-Nisa; [4] :29-30).
      Kedua, larangan mencelakakan diri sendiri.
      “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Baqarah; 2:195).
      Ketiga, larangan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
      “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu413 sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi\" (Qs. Al-Maidah [5] : 32)
      Keempat, larangan berputus asa dari rahmat Allah.
      “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf [12] :87)

      C. Perbedaan antara Mati Syahid dengan Bom Bunuh Diri
      Amaliyat al- isytisyhad berbeda dengan bom bunuh diri. Pertama, orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku amaliyat al-isytisyhad memper-sembahkan dirinya sebagai kor-ban demi agama dan ummatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pelaku amaliyat al-isytisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah subhanahu wata’ala. Kedua, bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan putus asa (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak al-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh/dar al-salam/ dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-harb). Ketiga, amaliyat al-isytisyhad (tindakan mencari kesyahidan) diperbolehkan karena merupakan bagian dari jihad bin-nafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri (Fatwa MUI tentang Terorisme). Dalam konteks ini Indonesia bukanlah dar al-harb melainkan dar al-sulh dan dar al-mu’ahadah (negara dalam perjanjian). Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mengikat semua kaum muslim dan non-muslim di Indonesia untuk mempertahankan kedamaian dan keutuhan negara. Semua umat beragama, termasuk umat Islam, memiliki kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya secara damai.

      VI. PESANTREN BUKAN SARANG TERORIS
      Aksi-aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusak-an sarana fisik, tetapi juga rusaknya citra bangsa dan umat Islam Indonesia. Mereka yang tidak menyukai Islam semakin keras menyuarakan kebencian dan stigmatisasi bahwa Islam adalah agama teroris. Lebih dari itu, mereka yang tidak memahami Islam di Indonesia dengan mudah menuduh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren dan madrasah sebagai sarang teroris.

      Para pengamat barat menuding bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia digerakkan oleh jaringan terorisme al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) yang basisnya berada di pesantren tertentu di Indonesia. Beberapa pelaku yang terbukti terlibat–baik langsung maupun tidak langsung -dalam aksi-aksi teroris-me memang pernah belajar di pesantren tertentu. Dengan dalih itulah, muncul kesimpulan yang bias, bahwa pesantren adalah sarang teroris. Pernyataan bahwa pesantren adalah sarang teroris jelas menunjukkan kurangnya pemahaman tentang Islam Indonesia dan –lebih jauh lagi- melukai perasaan seluruh umat Islam –terutama kalangan pesantren.

      Kekeliruan anggapan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa argumen. Pertama, secara kelembagaan pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang berada di bawah pengawasan dan pembinaan Departemen Agama. Pesantren dikelola oleh lembaga- lembaga keagamaan yang selama ini sangat mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persis, PUI, dan lain-lain. Kedua, kurikulum dan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren berisi materi keagamaan yang menekankan ketaatan beribadah, muamalah dan akhlak al-karimah. Di dalam pesantren memang diajarkan tentang jihad sebagai bagian dari kajian kitab-kitab Fiqh. Pengajaran materi jihad tiada lain karena jihad merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Pembelajaran tentang jihad, senantiasa disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keter-kaitan dengannya, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jadi, jihad yang dimaksud-kan adalah bagaimana seorang santri secara sungguh-sungguh mau berjuang di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan. Ketiga, adanya beberapa pelaku terorisme yang pernah belajar di pesantren tidak berarti pesantren mengajarkan terorisme. Tidak sedikit founding fathers (pendiri negara) Indonesia adalah alumni pesantren. Mereka adalah mujtahid (pemikir) dan mujahid (pejuang) yang ditempa dalam pendidikan pesantren. Dengan logika sederhana, misalnya, ketika ada seorang penjahat alumni sekolah atau univer- sitas, tidak berarti lembaga pendidikan tersebut mendidik siswa atau maha-siswanya menjadi penjahat. Karena itu, adanya beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme tidak berarti sama sekali bahwa pesantren adalah sarang teroris. Penelitian membuktikan bahwa para pelaku teroris justeru belajar merakit bom dan menjadi ekstrimis setelah mereka tidak lagi belajar di pesantren. Mereka menjadi teroris karena berbagai macam pengalaman hidup, ketidak-adilan hukum, kemiskinan dan tekanan politik. Faktor psikologis, sosiologis, ekonomi dan politik inilah yang sering-kali tidak atau kurang disinggung sebagai sebab tindakan terorisme.

      Maka, untuk memburu teroris dan memberantas terorisme di zaman seperti ini, penyelesaian masalah secara komprehensif haruslah dilakukan secara arif, teliti, dan cerdas. Stigmanisasi terhadap umat Islam pasca peristiwa 11 Septem-ber 2001 yang menjadikannya sebagai tertuduh, bagi sebagian umat Islam yang lain tentu semakin membangkitkan gejala perlawanan terhadap semua tindakan dan kaki tangan barat. Begitu juga dengan gejala terorisme negara yang ditunjukkan oleh Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina, Libanon, Irak, dan Afganistan tentu semakin mengobarkan api peperangan bagi mereka yang sudah mempunyai potensi melawan barat. Oleh karenanya, pemberantasan teror hendaknya dilakukan dengan metode yang bersifat kom-prehensif, edukatif, dan jauh dari diskriminasi dan kekerasan. Jangan sampai pesantren menjadi korban dari tindakan yang kurang memahami akar masalah terorisme.

      VII. PENUTUP
      Dari uraian di atas dapat disimpul-kan: Pertama, jihad tidak selamanya berarti perang, karena di dalam Islam jihad dapat berbentuk haji mabrur, keberanian menyampaikan kebenaran terhadap penguasa yang zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan, dan kepedulian sosial. Kedua, obyek jihad adalah orang kafir yang memusuhi Islam, orang munafiq, hawa nafsu, kezaliman, kemunkaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, jihad adalah salah satu asas iman, amal utama dan puncak amaliah tertinggi. Keempat, termasuk jihad adalah semua upaya sungguh-sungguh memperbaiki dan kualitas kehidupan muslim baik kualitas iman maupun kesejahteraan. Kelima, Indonesia bukanlah wilayah dar al-harb melainkan negara damai dan negara dalam perjanjian karena umat Islam memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.


      DAFTAR PUSTAKA
      1. AI-Anshari, Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukaram, Lisan Al-Arab li Ibn Manzhur, t.tp, Dar Al-Mishriyah.
      2. Enizar, Jihad Menurut Hadits, Disertasi pada Pps. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002
      3. Hijazi, Muhammad Mahmud. at-Tafsir al-Wadhih, juz 5. Kairo: Mathba\'at al-Istiqlal al-Kubra, 1968.
      4. Ibn Al-Husaini, Ahmad Ibn Muhamad Ibn Abi Bakar Ibn Abdul Malik Ibn Ahmad Ibn Muhammad, at -Qasthalani, Irsyad a/-Sari, Beirut : Dar al-Rkr, tt,al-Isfahani, Al-Raghib, Mujam Mufradat al-Fadz Al-Qur’an, Beirut Dar al-Fikr, 1990 al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmat at-Tasyri\' wa Falsafatuh. Beirut: Darul Fikri, 1997.
      5. Khattab, Mahmud Syiyat. ar-Rasul al-Qaid. Beirut: Darul Fikri, 1989.
      6. Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Terorisme, Dewan An-Nawawi,
      7. Yahya bin Syaraf Riyadhush Shalihin. Beirut: Darul Fikri, 2005.
      8. al-Mubarakfuri, Abu al-a’1a Muhammad \'Abd al-Rahman Ibn Abd al-Rahim, Tuhfat a/Ahwazi fi Syarh Jami\'a/-Turmudzi, Beirut : Dar al -Kutab al-Ilmiyah tt,
      9. Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Terorisme, Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 2005.
      10. Mudzhar, Atho, Jihad dalam Konteks Indonesia Kontemporer, Makalah, 2005
      11. al-Razi, Muhammad. Tafsir al-Fakhr al-Razi, jilid 5. Beirut: Darul Fikri, 1995.
      12. Sabiq, as-Sayyid, Figh as-Sunnah, jilid 3. Beirut: Darul Fikri, 1983.
      13. Samudra, Imam, Aku Melawan Teroris! Solo: Jazera, 2004.
      14. ath-Thabarsi, al-Fadhl bin al-Hasan. Majma\' al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 3. Beirut: Darul Fikri, 1994.
      15. Zakariya, Ahmad Ibnu Faris, Mu jam Maqayis al-Lugah, Beirut : Dar al-Fikr. 1994



      sumber :

      http://www.mui.or.id/mui_in/article.php?id=18


No comments: